Pemerintah Terkesan Menggiring Opini Ada Konflik Diantara Umat Beragama


Lutfi Sarif Hidayat, SEI
Direktur Civilization Analysis Forum (CAF)

Pada hari Selasa, 16 Mei 2017 pemerintah mengundang beberapa tokoh lintas agama ke Istana Merdeka. Pertemuan tersebut terbilang mendadak, karena dilakukan setelah Jokowi kembali dari Palu, Sulawesi Tengah.

Setidaknya ada delapan tokoh dari organisasi keagamaan datang ke Istana Merdeka, dan Jokowi didampingi oleh Kapolri serta Panglima TNI. Salah satu petikan yang Jokowi sampaikan dalam pertemuan tersebut adalah,

“Apa pun agamanya, apa pun sukunya, apa pun golongannya, untuk menjaga kebhinekaan, membangun solidaritas.”

Inti dari pertemuan tersebut adalah menekankan kembali tentang pilar-pilar penting Indoneia kepada tokoh-tokoh yang hadir, yakni dari MUI, PBNU, Muhammadiyah, Wali Gereja Indonesia, PGI, Perwakilan Umat Budha Indonesia, Parisada Hindu Dharma dan Majelis Tinggi Agama Konghucu.

Saya bukan dalam rangka menyayangkan pertemuan tokoh-tokoh tersebut. Sebab memang sudah semestinya antar umat beragama saling menghargai ajaran dan keyakinan orang lain, dan menjaga dengan toleransi yang benar.

Akan tetapi, saya membaca ada kesan dari rezim pemerintahan Jokwi ingin menggiring opini bahwa di tengah-tengah masyarakat berpotensi atau bahkan terjadi konflik horizontal antar umat beragama.

Sebab, saya lebih sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Prof. Mahfud MD bahwa salah satu masalah utama di negeri ini adalah keadilan yang belum dirasakan secara penuh oleh rakyat, dan belum tegaknya hukum dengan seadil-adilnya.

Bahkan beliau menegaskan di kalangan masyarakat bawah tidak ada konflik-konflik antar umat beragama. Masyarakat sudah mengerti tentang toleransi dan bagaimana hidup bermasyarakat dengan benar. Dan saya pikir ini sudah menjadi pemahaman umum bagi rakyat.

Benar, bahwa di Indonesia terdiri dari masyarakat yang beragam, baik agama, suku, budaya, adat dan lain sebagainya. Namun, sejauh yang saya lihat tidak ada masalah, dan baik-baik saja. Adanya kegaduhan akhir-akhir ini sebenarnya disebabkan oleh oknum yang melampaui batas dan kemudian diikuti penindakan hukum yang lambat dari perangkat-perangkat negara.

Kita harus jujur, bahwa kegaduhan di awali dengan ucapan penistaan terhadap agama Islam dan ulama oleh saudara Ahok. Kemudian dilaporkan ke pihak yang berwajib, namun agaknya penanganannya saya katakana bertele-tele. Sampai pada akhirnya MUI atas permintaan aparat memberikan pandangan keagamaan bahwa Ahok telah menistakan agama Islam dan ulama.

Pada kasus penistaan yang lain, fatwa MUI sudah cukup untuk membuktikan pelaku sebagai tersangka dan menahannya. Namun pada kasus saudara Ahok ini banyak alasan berbelit-belit agar tidak ditahan saat proses hukum berjalan. Muncullah aksi berjuta-juta manusia, yang tidak hanya umat Islam menuntut tegaknya supremasi hukum.

Singkatnya, ketika ketuk palu hakim menetapkan bahwa saudara Ahok terbukti bersalah melakukan tindakan pidana. Masih banyak nuansa-nuansa dari perangkat negara yang memberikan indikasi kuat belum sepenuhnya adil. Seperti pemindahan tahanan dari LP Cipinang ke Mako Brimob, hingga penyikapan terhadap aksi pendukung terpidana yang tidak setegas dan segarang terhadap aksi menuntut keadilan dan tegaknya hukum.

Padahal aksi yang dilakukan pendukung terpidana adalah aksi tidak menerima putusan hakim yang sah di mata hukum, artinya sama saja tidak menghargai hukum yang berlaku. Bahkan di beberapa titik berpotensi terjadi makar dan sparatisme. Namun ditanggapi santai oleh pihak yang berwajib, sehingga menciderai rasa keadilan rakyat.

Anehnya, pemerintah seolah melihat ini sebagai potensi konflik horizontal. Padahal sebab masalah utamanya sesungguhnya kembali kepada rezim pemerintahan sendiri. Pemerintah dirasa belum memberikan keadilan secara penuh dan penegakan hukum yang benar. Sehingga jika terus berlanjut, justeru konflik yang terjadi bukan konflik horizontal. Namun rakyat yang berkonflik dengan rezim pemerintahan, dan kepercayaan dari rakyat kepada pemerintah akan hilang.


Jogja, 17 Mei 2017

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama