Lutfi
Sarif Hidayat, SEI
Direktur
Civilization Analysis Forum (CAF)
Pihak
kejaksaan memastikan akan mengajukan banding atas vonis 2 tahun penjara
terhadap Ahok oleh pengadilan Negeri Jakarta Utara. Seperti diketahui, dalam
perkara yang mendera Ahok jaksa mendakwanya dengan pasal 156 KUHP atau tindak
permusuhan di depan orang atau golongan sedangkan hakim mengenakan Pasal 156A
KUHP terkait penistaan agama. Majelis Hakim menilai Ahok terbukti menodai agama
dan menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara. Selain itu, Majelis Hakim juga
memerintahkan agar Ahok ditahan.
Kejaksaan
beralasan dilakukannya banding adalah pertama karena pihak terdakwa melakukan
banding. Sehingga ketika terdakwa tidak puas dengan banding, akan dilakukan
kasasi. Seandainya jaksa tidak banding, maka jaksa tidak bisa kasasi
mengimbangi langkah mereka. Kedua, Jaksa Penuntut Umum ingin menguji ketetapan
pasal mana yang memang harus diterapkan dalam perkara Ahok.
Terhadap
proses banding yang dilakukan kejaksaan dengan melihat prosedur, maka memang
bisa dilakukan. Akan tetapi, jika melihat dengan sudut pandang lain yakni
pandangan keagamaan yang dikeluarkan MUI sebenarnya sudah menjadi landasan
bahwa keputusan hakim tepat bahwa terdakwa menista agama. Sebab menurut saya
dalam pidana penistaan agama salah satu kunci dalam mempertimbangkan adalah
otoritas keagamaan yang diakui, dalam hal ini MUI.
Dengan
demikian, sangat memungkinkan hipotesis yang berkembang di tengah masyarakat
tentang hukum di Indonesia semakin menguat. Karena pada faktanya hipotesis yang
ada mengatakan bahwa hukum seperti pisau, tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Masyarakat
tidak akan pernah lupa beberapa penanganan kasus dan putusan hukum yang sarat
dengan penafian rasa keadilan. Pernah ada putusan hukum kepada seorang koruptor
bernama Angelina Sondakh politikus dari partai yang pernah berkuasa, hanya
divonis 4,5 tahun penjara. Nilai korupsinya adalah sebesar Rp 12,58 M atau
sekitar US$ 2,35 juta. Sedangkan seorang pria pencuri sandal divonis 5 tahun.
Kemudian,
pernah ada kasus seorang anak pejabat menabrak yang menewaskan hingga dua orang
dan divonis bebas. Seorang nenek bernama Asyani mencuri dua batang pohon
divonis 1 tahun penjara. Ada juga seorang nenek mendapatkan tuntutan 5 tahun
penjara karena mencuri 5 pohon jati. Sedangkan PT Bumi Mekar Hijau yang
membakar 20.000 hektar hutan divonis bebas, dengan alasan membakar hutan tidak
merusak lingkungan karena masih bisa ditanami lagi.
Pernah
juga rakyat dipertontonkan oleh seorang artis yang menghina Pancasila, kemudian
dia menjadi “Duta Pancasila”. Seorang siswi SMA bernama SD yang memaki-maki
seorang Polwan kemudian menjadi “Duta Narkoba”. Sedangkan seorang guru mata
pelajaran biologi di SMPN 1 Bantaeng, Sulawesi Selatan bernama Nurmayani Salam
yang mencubit muridnya karena nakal kemudian menjadi seorang nara pidana.
Rakyat
sempat terenyuh mendengar kabar seorang anak kecil mencuri demi sesuap nasi,
kemudian dipukuli hingga ditendang. Sedangkan koruptor miliaran dibela
habis-habisan, bisa pesan makanan mewah dan diinterogasi dengan senyuman.
Saya
bukan dalam rangka membenarkan kasus pencurian, dan kasus kriminal lainnya. Kriminal
apapun tetap harus mendapatkan hukuman. Namun, sepertinya masyarakat
membutuhkan penjelasan seterang-terangnya akan setiap proses hukum yang
terjadi, khususnya yang berkaitan dengan rasa keadilan. Sebab prinsip penegakan
hukum adalah keadilan. Jangan sampai keadilan tidak bisa dirasakan sepenuhnya
oleh masyarakat disebabkan keberpihakan.
Sehingga
penting adanya edukasi hukum bagi masyarakat. Karena jika menilik kasus-kasus
sebagaimana saya sebutkan di atas, sangat mungkin orang berspekulasi jika hukum
memang dikendalikan oleh mereka yang berkuasa. Atau jangan-jangan berkembang
hipotesis lain, jika sistem hukum yang berlaku di negara ini sudah tidak
relevan karena terbukti ketidak-adilannya. Sekian.
Jogja,
19 Mei 2017