Kuatkan Ukhuwah, Satukan Langkah


Oleh : Suhari Rofaul Haq 
(Dir.PSAC/Political and Strategic Analysis Center)

Umat Islam harus menyadari bahwa dalam Islam memelihara ukhuwah islamiyah adalah kewajiban setiap Muslim. Karena itu, lalai atau bahkan merusak jalinan ukhuwah islamiyah adalah dosa, sebagaimana meninggalkan bentuk kewajiban-kewajiban yang lain. Setiap Muslim dan setiap komponen umat Islam sudah sepantasnya melakukan ta’âruf (saling mengenal), ta’âluf (saling merekatkan), tafâhum (saling memahami), tafâqud (saling respek/peduli) dan ta’âwun (saling menolong). Semua itu akan menjadi kunci pembuka hati persaudaraan, menambah kedekatan, menciptakan kesepahaman dan sikap toleran sekaligus menghilangkan sikap iri dan dengki.

Fakta Empiris

Sejarah mencatat bahwa umat ini pernah menyandang predikat menjadi umat terbaik selama belasan abad. Gelar tersebut diraih ketika umat berpegang teguh pada ajaran islam. Yakni, penerapan Islam  sebagai sebuah sistem dalam bingkai Khilafah Ar Rosyidah. Namun kondisi memilukan mulai terjadi lantaran benteng islam tersebut diruntuhkan kaum kafir. Setelah keruntuhan Khilafah,kaum kafir penjajah secara terus menerus tetap  melakukan upaya penghancuran sampai hari ini. Mereka melemahkan umat dengan membagi wilayah  menjadi puluhan negara-bangsa. Untuk melanggengkan jajahan mereka menempatkan para penguasa  yang setia melayaninya. Kapitalisme-sekularisme -demokrasi menjadi ajaran yang wajib diterapkan para penguasa jika ingin tetap duduk dikursi kekuasaan. Jadilah umat ini tercerai berai yang menjadikan kepentingan dan manfaat belaka sebagai ikatannya,bukan islam lagi.

Usaha untuk mengembalikan kejayaan islam telah dilakukan banyak jamaah pergerakan.  Jamaah tersebut ada untuk memenuhi seruan Allah swt dalam surah Ali Imran ayat 104. Allah swt meminta agar  ada di antara umat Islam kelompok yang bekerja untuk menyerukan Islam dan melakukan amar makruf  nahi mungkar. Bertahun tahun sudah jamaah berusaha sekuat tenaga  untuk mengembalikan benteng perisai umat. Usaha tersebut belum mengantarkan pada tujuan utama , meski umat mulai sadar akan kewajibannya. Semua jamaah  harus menyadari,  bahwa kegagalan mereka  karena ada musuh yang selalu berusaha menghalangi perjuangan. Musuh sebenarnya adalah kapitalis yang dipimpin negara adidaya Amerika serikat. Ya,kumpulan negara-negara penjajah. Yang semua insfrastruktur mereka miliki., Mulai dari kekayaan melimpah hasil jarahan,media pembentuk opini-penebar fitnah,tehnologi canggih, jumlah pasukan yang tak terhingga bahkan para penguasa boneka yang siap mengabdikan dirinya 24 jam penuh tanpa syarat. Semua musuh miliki,yang tidak ada hanya satu yakni ridha pencipta.

Ukhuwah islamiyah adalah rantai ikatan suci yang tak kenal batas wilayah. Tidak seperti nasionalisme. Di Indonesia, nasionalisme hanya ada dari Sabang sampai Merauke. Melewati garis batas negara, nasionalsme pun hilang. Makanya wajar-wajar saja, Indonesia (walaupun berpenduduk Muslim terbesar dunia), tidak galau waktu Afganistan, juga Palestina, dibombardir Israel. Tidak perlu dipikirkan mereka nun jauh di sana. Pikirkan saja negeri sendiri. Begitu kata para nasionalis. Ungkapan seperti ini tidak akan muncul jika ukhuwah islamiyah yang dijadikan pemersatu. Seharusnya sakit Palestina adalah juga derita Indonesia. Air mata Afganistan juga sedih Indonesia. Alasannya sederhana, kita sama-sama Muslim. Kaum muslim ini ibarat satu tubuh, kata Rasulullah saw., bila satu sakit maka sakit pulalah bagian yang lain. Ukhuwah islamiyah satu-satunya ikatan yang mampu menembus garis batas negara, garis imajinatif yang sengaja dibuat kaum kafir untuk memecah belah umat.

Kalau di al-Quds, kita punya Salahuddin al-Ayubi. Di Indonesia, ada Pangeran Diponegoro. Dua pahlawan Islam ini punya kesamaan, sama-sama menentang dominasi kafir penjajah. Diponegoro berjuang atas dasar cinta kepada Allah dan jihad. Ini terbukti dalam surat seruan jihad yang dikirimkan Diponegoro untuk masyarakat Kedu. Ada isinya yang begitu menggetarkan jiwa, “Jikalau sudah sampai surat undangan kami ini, segera sediakan senjata, rebutlah negeri dan ‘bentuklah agama Rasul’. Kalau saja ada yang berani tidak percaya dengan bunyi surat saya ini, maka akan saya penggal lehernya.” Apakah ini kalimat dari seorang nasionalis? Bukan. Ini kalimat yang kental dengan seruan keimanan dari seorang jihadis.

Ini baru Diponegoro. Belum lagi kita bicara tentang Imam Bonjol dengan Perang Paderi-nya. Tengok pula Kapitan Pattimura yang bernama asli Ahmad Lusy, seorang pejuang Islam asal negeri Ambon Manise. Sejarah telah “mengkristenkan” dan menghilangkan identitas mujahidnya. Mari kembali membaca sejarah. Kemerdekaan Indonsia tidak lahir dari semangat nasionalisme, tetapi muncul dari semangat jihad dengan dorongan keimanan semata.

Begitu rindu kita pada suasana sejarah pada tahun 1566. Waktu itu Sultan Alaiddin Riayat Syah, penguasa negeri Aceh Darussalam, mengirimkan surat kepada Sultan Sulaiman al-Qanuni. Suratnya berisi sebuah pengaduan bahwa armada laut Portugis sering menganggu pedagang Muslim yang sedang berlayar; juga kerap lancang menghadang jama’ah haji di Selat Malaka, yang hendak menuju Makkah. Aduan ini direspon Sultan dengan mengutus bala tentara bantuan. Dikirim secara bergelombang. Yang dikirim pun bukan tentara sembarangan, namun 500 tentara yang ahli seni bela diri, juga lihai mempergunakan senjata.

Inilah indahnya ukhuwah islamiyah. Aceh Darussalam tak merasa sendiri saat itu. Mereka percaya, punya saudara seiman yang siap membantu, juga saudaranya yang ada di pusat Kekhilafahan. Khilafah menganggap Nusantara adalah bagian darinya. Tak ada alasan untuk menolak permohonan bantuan dari sesama Muslim walau membentang jarak yang begitu jauh. Nasionalisme, tidak akan bisa begitu. Ikatan dan kepeduliaannya hanya sebatas wilayah negara. Sekarang Mujahidin Suriah memanggil-manggil dunia Islam untuk membantu. Namun, semua diam. Lagi-lagi, logika nasionalisme yang dipakai: Itu urusan luar negeri, tak perlu terlalu dirisaukan.

Untuk membendung arus kebangkitan islam, Barat kapitalis bisa kompak dan bersatu padu  dalam memaksakan penerapan demokrasi-sekularisme pada negeri-negeri muslim. Justeru yang mengherankan,  Persatuan belum bisa terwujud pada jamaah islam. Jamaah masih sibuk dan merasa cukup dengan agenda masing-masing. Padahal persatuan adalah ajaran islam dan  kunci kekuatan umat, Persatuan Allah swt wajibkan dengan  ukhuwah islamiyah yang mendasarinya.  Disinilah pentingnya seluruh jamaah islam harus menjadikan penerapan sistem islam  sebagai  agenda utama umat,  Jangan pernah tergoda lagi dengan sistem musuh yang sengaja  mereka siapkan. “Dan bahwa ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya”. (Qs Al-An’am : 153).

Satukan Langkah

Saat ini umat sedang dalam genggaman musuh. Umat menjadi pesakitan,tertuduh dan selalu dihinakan karena lemahnya ukhuwah islamiyyah, ” Aku (Allah swt) tidak akan menjadikan umatmu dikuasai oleh musuh dari luar mereka yang melucuti pelindung kepala mereka, meskipun mereka diserang dari berbagai penjuru, kecuali jika sesama umatmu saling menghancurkan dan saling menawan (HR. Muslim).  Perselisihan yang sedang  menimpa umat bisa berakibat  kebinasaan , “Janganlah kalian berselisih, Sesungguhnya kaum sebelum kalian telah berselisih lalu mereka binasa.” (HR. Bukhari).

Umat Islam terutama jamaah dakwah hendaknya menjadi sponsor dan menjadi jembatan terwujudnya ukhuwah islamiyah. Hingga umat menjadi  kuat dan musuh berfikir ulang jika ingin berbuat negatif. Fakta telah membuktikan hebatnya ukhwah islamiyah, dunia terkejut dengan gagalnya calon gubernur non-muslim dalam pilgub DKI 2017 setelah umat menunjukkan persatuanya dalam membela agama yang dinista. Cara efektif menuju persatuan tersebut adalah kembali pada aturan Allah swt. Imam Al Qurthubi mengatakan,“Maka Allah swt mewajibkan kita berpegang kepada kitabNya dan Sunnah NabiNya, serta -ketika berselisih- kembali kepada keduanya. Dan memerintahkan kita bersatu di atas landasan Al Kitab dan As Sunnah, baik dalam keyakinan dan perbuatan. Hal itu merupakan sebab persatuan kalimat dan tersusunnya perpecahan (menjadi persatuan), yang dengannya mashlahat-mashlahat dunia dan agama menjadi sempurna, dan selamat dari perselisihan. Dan Allah memerintahkan persatuan dan melarang dari perpecahan yang telah terjadi pada kedua ahli kitab”. (Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an 4/164). Dengan persatuan kita buat Allah swt senang meski kafir munafiq tidak tenang.

Saat ini saudara kita, HTI, bagian dari umat islam sedang mengalami ujian. Fitnah keji dan ancamam pembubaran sedang ditebar para rezim arahan kapitalis barat.  Kedzaliman rezim sedang terjadi didepan mata kita. Sebagai saudara seaqidah kita wajib membelanya. “Orang muslim adalah saudara muslim lainnya, ia tidak akan menganiayanya dan tidak akan menyerahkannya (kepada musuh)” .(HR. Bukhari dan Muslim). Apa yang sedang menimpa HTI kemungkinan besar juga akan menimpa jamaah lainya. Maka semua jamaah pergerakan wajib merapatkan barisan,bahu membahu melawan musuh sebagai konsekwensi keimanan didada.

“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam berkasih sayang bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan maka sekujur badan akan merasakan panas dan demam”. (HR. Muslim). Apa yang sedang dirasakan HTI wajib kita rasakan juga. Saatnya jalin ukhuwah islamiyah demi persatuan umat. Kalau tidak sekarang kapan lagi , dan kalau tidak kita  lantas siapa lagi. Wallahu a’lam bish showab.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama