Lutfi
Sarif Hidayat, SEI
Direktur
Civiliztion Analysis Forum (CAF)
Ekonomi
kapitalisme yang bercokol di Indonesia tidak hanya memberikan dampak negatif
secara ekonomi. Namun memberikan dampak berupa kerusakan lingkungan hidup
hingga kemanusiaan dengan menelan korban nyawa.
Hilangnya
nyawa seseorang selain karena faktor ekonomi berupa kemiskinan, juga bisa
karena kerakusan para pemilik perusahaan yang tidak bertanggung jawab. Sebagai
contoh adalah perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia, ternyata tidak
sedikit memakan korban nyawa.
Adanya
perusahaan-perusahaan tambang swasta khususnya menjalankan usahanya di
Indonesia adalah akibat dari paradigma ekonomi neo-liberalisme. Pemerintah
membuka peluang bagi siapapun untuk memiliki dan mengelola kekayaan yang ada di
Indonesia dengan regulasi perundang-undangan. Inilah buah dari sistem ekonomi
kapitalisme yang diterapkan di Indonesia.
Pada
tahun 2016 saja ada sekitar 10.388 Ijin Usaha Pertambangan (IUP). Banyaknya IUP
bagi perusahaan-perusahaan tersebut menurut Kepala Subdirektorat Perlindungan
Lingkungan Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Lana Saria mengatakan yang
intinya bahwa ijin-ijin yang jumlahnya hampir belasan ribu dinilai bermasalah.
Menurut
dia, ada yang izinnya tumpang-tindih dengan izin lainnya. Ada pula masalah izin
tambang yang tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Ada pula yang lokasi tambang
dekat sekali dengan kawasan pemukiman. Contohnya adalah di Kalimantan Timur,
luas wilayah tambangnya lebih besar dibanding izin yang diberikan.
Selain
itu masih menurut Lana Saria, kira-kira sebelum tahun 2014 hanya 1 persen
perusahaan tambang yang patuh memenuhi jaminan reklamasi pasca-tambang. Ini
artinya hanya sedikit sekali yang melakukan perencanaan pasca-tambang.
Dampak
dari IUP yang tidak terkendali ini adalah banyaknya lubang bekas tambang yang
tidak ditutup kembali. Lubang-lubang tersebut ukurannya sebesar lapangan bola
atau dua kali lipat. Bahkan tercatat ada 632 lubang bekas tambang yang tidak
tertutup kembali di Kalimantan Timur.
Koordinator
Nasional Jaringan Advokasi Tambang, Merah Johansyah, mencatat tiga hal utama
yang menyebabkan masalah pertambangan di Indonesia. Masalah pertama adalah
lubang bekas tambang yang jaraknya 50-100 meter dari kawasan rumah penduduk.
Padahal, sesuai aturan harusnya berjarak 500 meter dari pemukiman.
Kedua
adalah fasilitas keamanan yang kurang dibangun perusahaan tambang. Akibat dari
itu, masalah ketiga, ada puluhan anak yang meninggal karena bermain di kawasan
tambang. Koran Tempo (20-21/5.2017) mencatat beberapa data dari Jaringan
Advokasi Tambang.
Konsesi
pertambangan batu bara berada di 23 dari 33 provinsi di Indonesia. 19 dari 44
juta hektare lahan pertanian padi di samping lahan pertambangan. 23 persen dari
18 juta hektare lahan cocok tanam di Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan
Sumatera Selatan terancam pertambangan batu bara.
Dicatat
pula bahwa dari sekitar 10.388 IUP per 2016 di seluruh Indonesia ada sekitar
8.725 atau 83 persen IUP tidak menjaminkan dana reklamasi. Kalimantan Timur
memiliki 1.192 IUP, 931 IUP tidak membayar jaminan reklamasi.
Kalimantan
Tengah memiliki 866 IUP, 813 IUP tidak membayar jaminan reklamasi. Kalimantan
Barat memiliki 682 IUP, 659 IUP tidak membayar jaminan reklamasi. Kalimantan
Selatan memiliki 845 IUP, 689 IUP tidak membayar jaminan reklamasi.
Bangka-Belitung
memiliki 1.085 IUP, 790 IUP tidak membayar jaminan reklamasi. 10 provinsi
tempat operasi 1.037 IUP di DIY, Gorontalo, Bali, Lampung, Maluku, NTB, Papua
Barat, Papua dan Sulawesi Utara, tidak ada satupun yang membayar jaminan
reklamasi.
Tidak
ada jaminan pasca-tambang inilah sebab banyaknya lubang-lubang bekas
penambangan. Lubang-lubang itupun menjadi tempat pembuangan irigasi. Air dari
bekas lubang pasca-tambang itu pula yang digunakan masyarakat setempat untuk
keperluan sehari-hari. Padahal tingkat pH air hanya 3,6 dibanding nilai pH
normal sebesar 6 sampai 8.
Akibatnya
di puskesmas 50 warga setiap bulannya mengalami diare. Bahkan Koordinator
Nasional Jaringan Advokasi Tambang, Merah Johansyah mengatakan, “Tadi malam ada
enam santri meninggal di bekas lubang tambang di Gresik.” (Koran Tempo,
20-21/5/2017)
Pada
tahun 2016 korban akibat lubang tambang yang terbuka menewaskan hingga 27 nyawa
di lubang tambang di Kalimantan Timur. Selain itu ada 15 nyawa warga melayang
di lubang dan kawasan eks tambang Samarinda. Dan 14 dari total korban tersebut
adalah usia anak-anak.
Jogja,
20 Mei 2017
Sumber
data Koran Tempo, Edisi 20-21/5/2017