Islam Agama Peradaban


Oleh: Adjih Mubarok

Pada faktanya, agama dalam hubungannya dengan peradaban hanya ada dunia. Yakni agama yang darinya lahir peradaban dan agama yang darinya tidak melahirkan peradaban. (Hizbut Tahrir, Benturan Peradaban, 2005)

Pertama, agama yang lahir darinya suatu peradaban merupakan sebuah agama yang memiliki konsep komprehensif yang mengatur dirinya sendiri dengan Tuhannya, dirinya dengan dirinya, dan dirinya dengan orang lain.

Islam, adalah agama yang dimaksudkan sebagai agama yang memiliki konsep komprehensif tersebut. Yakni memiliki segunung konsep yang dapat digunakan untuk mengatur dirinya sendiri dengan Tuhannya, dirinya sendiri dengan dirinya, dan dirinya dengan orang lain. (Hizbut Tahrir, Nizham al-Islam, 2004)

Kedua, agama yang darinya tidak melahirkan peradaban, sebab ia tidak mengatur sedemikian rupa perilaku manusia sebagaimana agama yang pertama mengaturnya. Agama yang demikian adalah agama kebanyakan pada umumnya, yakni seperti agama Nasrani, Hindu, Budha dan lainnya (selain Islam).

Suatu agama disebut komprehensif apabila ia memiliki ajaran yang mencakup seluruh perilaku manusia. Bukankah agama memang dimaksudkan untuk mengatur manusia yang cenderung berbuat salah dan lupa?

Seluruh perilaku manusia yakni perlakuan manusia tersebut terhadap segala sesuatu yang berasal dari paradigma dasar yang ada di dalam kepalanya (akidah). Oleh sebab itu, sering dikatakan bahwa paradigma dasar inilah yang merupakan hal terpenting dalam suatu agama.

Apa saja yang diatur? Yakni hubungan manusia dengan Tuhannya dalam perkara akidah dan ibadah, kemudian hubungan manusia dengan dirinya sendiri dalam perkara makanan, minuman dan akhlak, serta hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam perkara muamalat dan uqubat.

Dalam hubungannya dengan Tuhannya, berupa konsep-konsep teologis, maka manusia diharuskan menemukan, mendapatkan kemudian membenarkan konsep tersebut dengan akalnya. Sebab, akal sesungguhnya mampu menemukan Tuhan sebagaimana manusia mampu menemukan kebenaran yang absolut dengan akalnya.

Dalam hubungannya dengan Tuhannya, yakni berupa amalan praktis ibadah, maka manusia diharuskan mengikuti tuntunan dari peletak dasar agama tersebut.

Dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, yakni berupa apa yang seharusnya ia lakukan dan apa yang seharusnya ia tinggalkan dalam rangka menyelamatkan dirinya dari kemurkaan Tuhan, ia perlu berpegang kepada perintah dan larangan-Nya.

Dalam hubungannya dengan manusia lainnya, yakni berupa aktivitas ekonomi, sosial, politik dan sebagainya, juga harus mendahulukan konsep wahyu berupa perintah dan larangan, baru kemudian bila konsep dari wahyu tidak mengaturnya secara spesifik, akal dapat digunakan untuk menjadi pemimpin. Akan tetapi, bukan akal yang terpimpin oleh hawa nafsu, akan tetapi akal yang bersih, objektif dan mampu berpikir dengan disandarkan pada aspek normatif (agama).

Islam Lebih Tinggi dari agama lainnya

Kita sering mendengar sebuah adagium dalam bahasa arab yang berbunyi,

الإسلامُ يَألُو ولا يُألَى عليه

Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi daripadanya (Islam). Begitulah kira-kira maknanya
Dalam al-Mustadrak, Imam al-Hakim al-Nusaibury, meriwayatkan perkataan Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab, yang menyatakan bahwa

إنَّا كُنَّ أَذَلَّ قَومٍ فَأَعَزَّنَا اللهُ بالإسلام فَمَهمًا نَطلُبُ عِزَّةَ بِغَيرِ مَا فَأَذَلَّنَا الله

“Dahulu kami adalah kaum yang hina, kemudian Allah meninggikan derajat kami dengan Islam. Barang siapa mencari kemulian dengan apa yang selain Islam, maka Allah akan menghinakannya”

Adanya perkataan Umat bin al-Khaththab ra diatas setidaknya membuat kita harus merenungkan kembali jatidiri kita sebagai kaum muslimin. Mari seyogyanya sebagai kaum Muslimin, kita mengetahui posisi agama kita ini dan posisi kita sebagai pemeluk agama yang sempurna. Agama yang sempurna ini, tidak akan menghasilkan peradaban jika pemeluknya meninggalkan ajarannya, berupa Syariat.

Salah satu bentuk mengabaikan agama ini adalah dengan menolak penerapan Syariat Islam. Sebab, bukanlah karena Demokrasi, agama Islam akan menjadi peradaban. Bukan pula karena Sekulerisme, agama Islam mampu tampil menjadi agama yang menjadi Rahmat bagi Semesta Alam.

Agama ini akan menjadi tinggi dan beradab, dengan jalan sebagaimana ia beradab dahulu, yakni ketika Islam menjadi sebuah aturan masyarakat di Madinah, dengan diterapkannya secara Kaffah. In syaa Allah, masa-masa peradaban Islam itu akan menjadi nyata dengan kontribusi nyata kita dengan dakwah serta dukungan positif lainnya.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama