Oleh AB Latif (Direktur Indopolitik Watch)
Indonesia adalah negeri dengan menganut sistem demokrasi. Karena wilayah yang sangat luas mencapai 34 Provinsi dan 514 Kabupaten dan Kota, maka hampir tiap tahun negeri ini menyelenggarakan pemilihan kepala daerah baik Gubernur atau Bupati/wali kota. Setelah suksesi pilkada tahun 2017 dengan puncaknya yang begitu menyita perhatian seluruh warga negeri ini yaitu pilkada Jakarta, maka tahun 2018 akan digelar pilkada Jatim dan beberapa daerah lainnya. Pesta demokrasi di negeri ini menjadi sedemikian mahal. Dana panas begitu mudah demi sebuah pesta. Sebaliknya, nasib rakyat dalam pemenuhan kebutuhan asasi dan publik sering terbengkalai. Terkadang pula terlupakan.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Timur telah menganggarkan dana untuk kebutuhan Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur) sebesar Rp. 817.000.000.000 (817 miliar). Dana tersebut diperoleh dari APBD Pemprov Jawa Timur tahun 2017 ditambah APBD 2018 mendatang (news.detik.com, 25/5/2017). Kesungguhan pendanaan ini merupakan hal lain terkait demokratisasi.
Dana sebesar itu belum termasuk dan biaya kampanye setiap pasangan calon Kepala Daerah. Jika ada 3 (tiga) pasangan calon Kepala Daerah dan tiap calon pasangan menghabiskan 60 miliar. Ini mengambil sampel dana kampanye tiap pasangan di Jakarta kemarin. Maka anggaran yang dihabiskan seluruhnya bisa mencapai 997 miliar. Ini baru 1(satu) daerah. Bagaimana jika dikalikan 34 Provinsi seluruh Indonesia, maka akan terakumulasi sebesar Rp. 33.898.000.000.000. Ini anggaran pemilihan Gubernur seluruh Indonesia. Bagaimana kalau ditambah biaya pemilihan Bupati/Wali kota yang jumlahnya mencapai 514 Kabupaten/kota, maka tinggal mengalikan saja. Inilah fakta betapa mahal sistem demokrasi. Walaupun begitu mahal tapi ternyata sangat diminati oleh masyarakat. Darimanakah sumber dananya? Benarkah APBN/D untuk rakyat? Atau justru nasib rakyat sebenarnya tidak jelas?
Menyedot APBD
Sumber dana Pilkada diambilkan dari APBD dan sumber dana Pileg/Pilpres diambilkan dari dana APBN. Baik APBD maupun APBN diambil dari masyarakat melalui pajak. Sumber pemasukan Negara hanya mengandalkan sektor pajak. Maka lihatlah apa yang tidak dipajak dinegeri ini. Punya sebidang tanah kena pajak, mau bangun rumah kena pajak, mau usaha kena pajak, punya sepeda motor kena pajak, punya mobil kena pajak, makan diwarung kena pajak, jualan dipasar kena pajak, memarkir sepada/mobil kena pajak, dan masih banyak yang lainnya.
Ketika sektor pajak ini belum mencukupi anggaran, maka opsi selanjutnya adalah mencabut subsidi. Maka bisa kita lihat akibat dicabutnya subsidi harga BBM naik, tarif dasar listrik naik, pajak bumi dan bangunan naik, pajak sepeda motor naik dan semua kebutuhan hidup juga naik. Biaya pendidikan mahal, biaya kesehatan mahal, jaminan keamanan hampir tidak ada. Kriminalitas meningkat akibat sulitnya bertahan hidup. Jika ini belum cukup untuk memenuhi APBN/APBD dijuallah aset-aset Negara dan yang menjadi andalan adalah utang luar negeri. Puluhan aset Negara menjadi milik asing dan berbagai sumber kekayaan negeri ini telah dikuasai asing.
Kemudian dana untuk kampanye para calon diperoleh dari mana ? dana para calon diperoleh dari sponsor atau dari para pemodal/para capital/para pengusaha. Tidak mungkin dana kampanya sebesar itu dibiayai mandiri. Oleh karena itu ketika pasangan calon yang jadi, pertama yang ia lakukan adalah balas budi pada yang mendanai. Artinya ia akan melindungi kepentingan para pemodal yang telah membiayainya. Inilah fakta betapa bahayanya sistem ini. Sungguh kepentingan rakyat hanya sensasi untuk meraih suara, karena yang menjadi prioritas adalah kepentingan para pemodal. Maka sulit sekali menciptakan kesejahteraan di dalam sistem demokrasi. Karena yang berkuasa sebenarnya adalah para capital/para pengusaha.
Inilah fakta betapa mahalnya biaya demokrasi dan minimnya hasil untuk rakyat. Karena biaya pemilu yang sangat mahal itu maka muncullah para koruptor. Hampir lebih dari 50% gubernur dan bupati di Indonesia terjerat kasus korupsi, ini yang terangkat oleh hukum yang tidak terdeteksi jauh lebih banyak. Selain itu masyarakat senantiasa dikotak-kotak dengan jagoan calonnya masing-masing. Akibatnya bisa dilihat bagaimana sikap para pendukung Ahok dan Anis. Hal inilah yang menyeret bangsa-bangsa Eropa pada serangkaian peperangan yang tiada akhir.
Obsesi Demokrasi
Sebenarnya obsesi demokrasi adalah alat penjajah untuk menguasai suatu negeri. Kapital baik asing maupun aseng menyadari bahwa untuk menguasai itu semua dibutuhkan jalan. Bisa jadi mereka akan bermain sendiri atau memilih sebagai bandar. Jelas demokrasi ini tak mengenal halal haram. Prinsipnya menghalalkan semua cara untuk meraih kekuasaan. Maka prinsip ini sangatlah tidak manusiawi. Hanya dibangun berdasarkan siapa yang kuat dia yang menang dan akhirnya hukum rimbalah yang terjadi. Maka meneropong Pilgub Jatim 2018 dan pilkada serentak, bisa dipastikan ‘dana panas’ itu menuju liberalisasi politik yang berujung pada despotik. Rakyat kembali gigit jari, setelah mereka diberi janji.