Lutfi
Sarif Hidayat, SEI
Direktur
Civilization Analysis Forum (CAF)
Banyak
pengamat mengatakan cara konkrit menangkal ekstrimisme dan radikalisme adalah
dengan pemerintah memberikan keadilan. Hipotesis yang berkembang menyatakan
selama keadilan belum sepenuhnya dirasakan masyarakat, selama itu pula akan
muncul gerakan-gerakan perlawanan.
Nampaknya
hipotesis tersebut memberikan jawaban jika melihat kegaduhan dan gejolak di
negeri Indonesia akhir-akhir ini. Karena rakyat dipertontonkan dengan
indikasi-indikasi kuat yang mengarahkan stigma bahwa pemerintah berikut
perangkat-perangkat di bawahnya tidak bersikap adil.
Hal
tersebut tidak berkolerasi dengan keinginan rakyat untuk memperoleh dan
merasakan keadilan di negeri ini. Meski pemerintah memberikan
argumentasi-argumentasi melalui instrumen, seperti media-media mainstream
mereka. Namun rakyat semakin cerdas dan kritis melihat segala persoalan.
Rakyat
sudah tidak sepenuhnya lagi melihat media-media mainstream sebagai satu-satunya
alat dalam mengambil sikap. Dengan mudah mereka dapat mengakses segala hal,
yang sangat mungkin jika bertentangan dengan narasi argumen yang pemerintah
bangun. Rakyat tidak tidur.
Lagi-lagi
rakyat harus bersikap tegas dan berani mengatakan kemana keadilan harus
didapatkan. Setelah pemerintah belum benar-benar memenuhi rasa keadilan kepada
rakyatnya. Ditambah dengan dagelan-dagelan oknum perangkat negara yang
menciderai rasa keadilan.
Lihatlah,
bagaimana proses-proses hukum kepada mereka yang dekat dengan rezim. Perlakuan
istimewa, pelayanan kelas atas serta dalih pembelaan yang begitu kentara.
Tengoklah perlakuan terhadap aksi-aksi yang membela terpidana penista agama.
Sangat bertolak belakang dengan gelombang aksi menuntut keadilan supremasi hukum.
Sangat ironi.
Terlebih,
kepanikan rezim sepertinya sudah pada level yang akut. Pemerintah rasanya lebay
dalam menyikapi daya kritis elemen masyarakat. Ada dugaan kuat jika
pemerintah berupaya menutupi ketidakmampuan dalam memberikan keadilan dengan membangun
argumentasi lain.
Seakan
argumentasi yang pemerintah bangun adalah wujud kepahlawanan dari pemerintah.
Adanya wacana anti kebhinekaan, anti Pancasila, intoleran dan lainnya kembali
menjadi isu hangat rezim ini untuk menutupi kekurangan dengan menyasar kekuatan
yang kritis terhadap pemerintah.
Sehingga
jika ada upaya dari rezim untuk membungkam kekuatan kritis dari elemen
masyarakat, dengan mewacanakan pembubaran ormas-ormas kritis. Rakyat akan
kembali bertanya, ada apa dengan pemerintah saat ini?
Apakah
pemerintah ingin kembali ke zaman otoritarian dan begitu represif kepada
lawan-lawan dari kepentingan politiknya? Maka jika hal tersebut terjadi, kemana
lagi rakyat harus mencari keadilan. Sebab hadirnya kekuatan-kekuatan kritis menjadi
wadah dan harapan masyarakat memperjuangkan keadilan untuk mereka.
Jangan
sampai pemerintahan ini dikendalikan oleh rezim yang anti kritik padahal mereka
belum berbuat untuk keadilan rakyatnya. Tentu semua tidak menginginkan rezim
pemerintahan yang berjalan mendapat stigma rezim panik, takut, represif,
otoriter, kebal kritik dan sebagainya. Oleh karena itu, berbuat adillah.
Jogja,
12 Mei 2017