Oleh
: Ghaniy Alfandi (Forum Kajian Mahasiswa Surabaya)
Akhir akhir ini sering
sekali kita mendapatkan informasi dengan mudahnya dari berbagai media tentang
berbagai peraturan kebijakan pemerintah yang sudah kebablasan. Tidak hanya dalam
bidang ekonomi tetapi bidang sosial bahkan bidang politikpun telah diatur
dengan kebijakan yang telah melampaui batas undang – undang. Apabila peraturan
undang – undang tidak sesuai dengan keinginan pemerintah maka mudah saja untuk
direvisi atau diamandemen dengan alasan menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Sehingga bagaimana mungkin penerapan hukum seperti ini akan memunculkan
pengamalan sila ke-5 dari Pancasila keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Malah sebaliknya akan terjadi keadilan sosial bagi segolongan rakyat
saja.
Diawali pada November 2014
secara ugal ugalan rezim penguasa memberikan kado istimewa 30 hari setelah
dilantik menjadi presiden dengan menaikkan harga BBM beserta mencabut subsidi
BBM dengan alasan pemborosan pembiayaan APBN. Sehingga pembiayaan APBN akan
dialihkan ke MP3EI (Master Plan Perencanaan dan Percepatan Ekonomi Indonesia)
dari 2011 hingga 2025. Mega proyek MP3EI merupakan program lanjutan rezim
penguasa sebelumnya yang menjadikan Indonesia sebagai lahan investasi dari
kapitalis monopoli internasional. Mega proyek MIFEE (Merauke Integrated Food
and Energy Estate) di selatan tanah papua merupakan salah satu dari isi MP3EI.
MIFEE akan menghancurkan 2.823.000 juta hektar tanah rakyat yang sebagian besar
hutan purba (virgin forest).
Semakin banyaknya investor
asing yang masuk kedalam negeri maka secara otomatis berbagai kebijakan
penguasa akan selalu memprioritaskan demi kepentingan kapitalis pemilik modal
sedangkan kepentingan rakyat sudah tentu menjadi prioritas kesekian. Sehingga
bukan tidak mungkin NKRI akan berubah menjadi Negara Korporasi Republik
Indonesia. Karena berbagai kebijakan akan disesuaikan dengan keinginan para
pemilik modal. sehingga hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya ibarat
seperti bisnis. Semakin besar yang dibayar maka akan semakin banyak yang akan
didapatkan. Hanya golongan rakyat yang kaya saja yang mendapat perhatian dan
perlindungan dari penguasa.
Bukti bahwa Indonesia saat
ini sedang darurat korporasi asing dapat kita temui dari BP migas pada tahun
2012, terdapat 84 kontraktor yang mengolah migas di Indonesia. Kontraktor ini
dibedakan berdasarkan kelasnya menjadi 3 yaitu : (1) Super Major yang terdiri dari Exxon Mobile, Total Fina Elf, BP Amoco
Arco, dan Texaco yang telah menguasai cadangan minyak di Indonesia 70% dan gas
80% . (2) Major yang terdiri dari
Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex Dan Japex telah
menguasai cadangan minyak 18 % dan gas 15%. (3) Pertamina (Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara) diberikan
sisanya yaitu cadangan minyak 12% dan gas 5%. Hal ini diperparah dengan
berbagai kebijakan mabuk sehingga berbagai korporasi kontraktor migas asing bisa
menguasai dan mengelola kekayaan Indonesia.
Maka sampai kapankah rakyat
bisa menikmati kekayaan alamnya sendiri tanpa campur tangan dari korporasi
asing ?.
Dengan berbagai kondisi
yang rusak saat ini bagaimana mungkin rakyat Indonesia sebagai pemilik sah
negeri ini hanya berdiam diri dan tak peduli dengan kondisi negeri. Sehingga muncullah
organisasi kemasyarakatan (Ormas) yang bersuara kritis memberi saran perbaikan
negeri ditengah kondisi negeri yang semakin rusak. Tetapi sikap kritis ormas
dalam menyampaikan aspirasi dan tuntutannya untuk kemakmuran negeri ditanggapi
oleh rezim penguasa dengan angkuhnya bahkan malah dibungkam melalui berbagai
jurus kebijakan mabuk. Agar jurus mabuknya tepat sasaran menuju kelompok yang
kritis ini maka Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 direvisi sehingga muncul UU
No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Agar organisasi
kemasyarakatan ini tidak lagi kritis kepada rezim penguasa. Kemudian Undang
Undang Nomor 8 Tahun 1985 direvisi menjadi UU No. 17 tahun 2013 tentang
organisasi kemasyarakatan. Sehingga rezim penguasa dapat bersegera membubarkan
segala bentuk ormas yang sangat kritis kepada pemerintahan. Berbagai revisi
undang undang dilakukan untuk membendung sikap kritis dari masyarakat yang
menuntut perubahan demi kebaikan negeri sendiri.
Tidak cukup hanya dengan
melakukan revisi undang undang saja , rezim penguasa mulai paranoid karena
semakin masifnya aksi dari berbagai gerakan masyarakat yang sangat kritis
menuntut adanya perbaikan di dalam negeri. Aksi massa terbesar dalam sejarah
Indonesia terjadi pada aksi bela islam yang dapat menghimpun lebih dari 7 juta
jiwa berkumpul menjadi satu di pusat ibukota negara. Aksi massa ini terdiri
dari berbagai golongan dan profesi yang berasal dari penjuru daerah nusantara. Aksi
massa ini dinamakan Aksi Bela Islam, tujuan diadakannya aksi bela islam ini
untuk menuntut rezim penguasa menangkap tersangka penista agama yang masih
aktif sebagai gubernur dan pemerintah jangan sampai melindungi penista agama
ini.
Selain itu di daerah daerah
juga melakukan berbagai aksi yang bertujuan mengedukasi masyarakat tentang
berbagai jurus kebijakan mabuk yang dilakukan oleh rezim penguasa. Membongkar
makar – makar jahat penguasa kepada rakyatnya sehingga di tengah rakyat akan muncul
jiwa kritis yang kemudian akan menyadarkan bahwa negerinya sekarang dalam kondisi
darurat. Mulai dari darurat seks bebas, darurat narkoba, darurat kekerasan
anak, darurat korporasi asing hingga darurat bencana alam.
Berbagai aksi massa yang
bersikap kritis inilah yang membuat rezim harus terpaksa mengeluarkan 1001
jurus mabuknya tentunya dengan 1001 alasan yang mabuk juga. Dilakukannya
keputusan pembubaran ormas Hizbut Tahrir yang tidak melalui jalur hukum dan
dilakukan secara sepihak (like and dislike). Padahal selama 20 tahun di
Indonesia ormas Hizbut Tahrir tidak pernah sekalipun melakukan kekerasan
anarkis dalam setiap agendanya dan hanya melakukan edukasi kepada masyarakat. Berbagai
gerakan aksi massa dan ormas yang kritis mulai dilabeli dengan “aksi
makar”, “gerakan intoleran”,”pemecah belah persatuan”,”anti Pancasila”, “anti
UUD 1945”, dan berbagai macam stigma negative yang seakan akan membuat bahwa
hanya penguasa saja yang “paling toleran”, “menjaga pancasila”,”menjaga
persatuan dan kesatuan”. Padahal sesungguhnya label negative tersebut tidak
terbukti dan hanya mengada ada.
Sadarkah kita bahwa
siapakah musuh sesungguhnya negeri ini? Apakah rakyatnya sendiri atau para
korporasi asing. Sadarkah kita kepada siapakah rezim penguasa mengabdi
sekarang? Kepada rakyat atau kepada para pemilik modal. Sadarkah kita siapakah yang
ingin memecah belah persatuan negara ini? Gerakan aksi massa atau para penjajah
asing yang menguasai kekayaan negeri ini. Apabila kita tidak menyadari itu maka
sebenarnya kita telah terkena jurus mabuk dari rezim penguasa dan para
sekutunya.
Maka sudah seharusnya kita
sekarang memiliki jiwa kritis dan peduli terhadap berbagai permasalahan yang
muncul di negeri ini. Sudah seharusnya dapat membedakan siapa yang harus kita
bela dan siapa yang harus kita lawan bukan sebaliknya menjadikan lawan sebagai
kawan. Untuk itu sudah sewajarnya kita menggunakan sumber hukum pasti yang
paling baik dan benar. Dengan hukum yang pasti itulah maka persatuan, kesatuan
serta keadilan akan senantiasa ada didalam negeri dan tidak akan berubah dari
masa ke masa karena tidak akan ada yang bisa mengubah peraturan hukum ini demi
kepentingan segolongan orang.