Lutfi Sarif Hidayat, SEI
Direktur Civilization Analysis Forum (CAF)
Ada satu pertanyaan yang mungkin sangat jarang ditanyakan oleh orang. Pertanyaan singkat yang sebenarnya juga sulit untuk di jawab. Pertanyaan tersebut adalah kapan kiranya rakyat dapat menerima berita jika hutang negara Indonesia lunas. Sehingga rakyat bisa sedikit menambah senyumannya.
Bagi saya, sebenarnya pertanyaan tersebut adalah khayalan dan mimpi untuk bisa dijawab jika tatanan ekonomi di Indonesia masih seperti sekarang ini. Indonesia masih menggunakan paradigma neo-liberalisme, neo-imperialisme dan kapitalisme dalam menjalankan roda perekonomiannya.
Artinya, akan sangat sulit dan bahkan menjadi hal mustahil hutang negara Indonesia bisa lunas dengan sistem yang tebukti bobrok ini. Buktinya bisa terlihat dari trend utang Indonesia dari tahun ke tahun. Menurut data BPS utang negara pada tahun 2005 sebesar US$ 134.504 juta, pada tahun 2010 sebesar US$ 202.413 juta dan pada tahun 2015 mencapai US$ 310.722 juta.
Kesimpulan dari data di atas adalah rata-rata setiap tahunnya bukan penurunan utang yang terjadi. Akan tetapi sebaliknya, utang negara Indonesia kian melambung tinggi. Dan bahkan hingga triwulan pertama 2017 utang negara Indonesia mencapai US$ 326,3 miliar atau setara dengan Rp 4.343,38 triliun. Angka itu naik 2,9 persen dibandingkan periode yang sama pada 2016.
Saya sebenarnya sangat wajar jika semakin tahun sepertinya akan semakin meningkat utang negara Indonesia, meski kewajaran ini bukan berarti mengamini kebijakan-kebijakan ekonomi yang dilakukan pemerintah.
Pertama, karena secara historis negara ini memang lahir dengan membawa tanggung jawab utang dari penjajah pada waktu itu. Sehingga beban tersebut akhirnya menjadi pola yang terjadi di negara Indonesia, dengan terus terjerat utang.
Kedua, kebijakan penyusunan anggaran menggunakan prinsip kebijakan defisit. Dengan kebijakan ini akan mengakibatkan setiap tahunnya terjadi potensi defisit, dan cara mengatasinya dengan menambah utang negara atau menaikan pajak. Pada APBN 2017 anggaran pendapatan negara sebesar Rp 1.750,3 triliun, dan anggaran belanja negara sebesar Rp 2.080,5 triliun. Ini artinya potensi defisit pada tahun 2017 mencapai Rp 300 triliun. Sehingga akan terjadi potensi naiknya utang dan pajak pada porsi APBN tahun selanjutnya.
Ketiga, saya katakan dengan tegas bahwa kebijakan utang khususnya utang luar negeri sebenarnya bagian dari hegemoni kapitalisme dan penjajahan ekonomi di Indonesia. Pada awalnya, semua utang baru dikatakan sebagai pinjaman dengan syarat lunak. Ada pinjaman yang biasa disebut bantuan program, yang terdiri dari bantuan devisa kredit dan bantuan pangan.
Dalam perjalanannya para kreditur yang memberi utang kepada Indonesia terdiri dari negara-negara dan lembaga-lembaga Keuangan Internasional. Para kreditur tersebut mengkoordinasikan diri ke dalam Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI). Anggota terdiri dari negara-negara kapitalis seperti AS dan lainnya. Selain itu untuk lembaga-lembaga keuangan yang menjadi anggota IGGI adalah : IMF, IBRD, ADB, UNDP denga OECD sebagai peninjau. IGGI didirikan pada tahun 1967, dan pada tanggal 25 Maret 1992 IGGI dibubarkan karena adanya insiden politik kala itu.
Dari situ, orang tidak boleh sekedar melihat utang yang dilakukan negara Indonesia dilakukan semata untuk infrastruktur dan membangun ekonomi negara. Lebih jauh, harus melihat bahwa ini adalah pola dari sistem ekonomi kapitalisme dalam mengcengkeram negara-negara dunia ketiga dengan neo-liberalisme dan neo-imperialismenya. Pada akhirnya negara akan dikendalikan oleh pemilik modal, dan akan mempengaruhi keluarnya kebijakan yang tidak pro rakyat. Selain itu secara perlahan aset-aset negara semakin terkuras oleh para kapital yang dipayungi oleh regulasi negera.
Oleh karena itu, hanya khayalan dan mimpi rakyat akan semakin tersenyum karena mendapati berita jika utang Indonesia lunas sementara sistem ekonominya masih berbasis pada kapitalisme. Maka pertanyaan yang tepat dan sangat mungkin untuk dijawab bukanlah kapan utang negara Indonesia lunas, namun kapan ekonomi Indonesia akan hancur? Sekian.
Jogja, 17 Mei 2017