Oleh Suhari Rofaul Haq (Praktisi Pendidikan dan Politik)
Dunia pendidikan saat ini kurang memuaskan. Di tengah beratnya tantangan hidup, amanah undang-
undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional, khususnya
pasal 3 tujuan Pendidikan Nasional
adalah “mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan yang maha Esa, berahklak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggung jawab” belum sesuai harapan.
Kondisi semacam ini sejak lama belum terpecahkan. Selepas dari Perguruan
Tinggi, para sarjana yang jumlahnya
semakin membengkak hanya menambah jumlah
manusia yang tidak mengerjakan apa apa
yang sudah terlanjur diketahuinya. Gelar “pengangguran intelek” akhirnya
melekat pada mereka, demikian sindir MH Ainun Najib beberapa tahun yang lalu. Mereka
belum bisa mandiri, yang terjadi justru menjadi beban masyarakat. Tidak sedikit
justru penyakit sosial muncul dari mereka. Ironis.
Aneh, Dituduh Radikal
Di tengah kondisi
demikian, Menristekdikti
M Nasir meluncurkan Gerakan Kampus
Nusantara Mengaji di 40 Perguruan Tinggi Negeri seluruh Indonesia yang
dilaksanakan pada Jumat (10/3/2017) lalu di Universitas Sebelas Maret, Solo. Gerakan tersebut sekaligus sebagai
implementasi revolusi mental yang digagas Presiden Jokowi. Lebih lanjut Menristekdikti menyatakan, "Sebagai
institusi pencetak generasi penerus bangsa, kampus harus kita bentengi. Jangan
sampai terjadi kekerasan di dalam kampus karena dipicu masalah sepele ataupun
paham yang berbeda, terutama paham radikal," kompas.com, Senin,
13 Maret 2017. Lantas
muncul pertanyaan, apa yang dimaksud
dengan paham radikal dan benarkah
kekerasan mahasiswa selama ini terjadi karena nya?
Radikal-
radikalisme adalah dua istilah yang sering kali
dikaitkan dengan aksi-aksi kekerasan yang dikonotasikan dengan kekerasan
berbasis agama, termasuk aksi terorisme. Isu terorisme sendiri dimulai sejak
tahun 1991 dan hingga saat ini tetap populer dan berlangsung. Di negeri ini,
terorisme-radikalisme yang masuk dalam drama war on terror menjadi sah dan
sebuah keharusan yang telah menghilangkan ratusan nyawa setelah peristiwa
WTC,9/11/2001 terjadi. Kata “radikal” saat ini menjadi istilah politik yang
cenderung multitafsir, bias
dan sering digunakan sebagai alat penyesatan atau stigma negative lawan politik.
Semisal, penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan, skriptualis dalam
menafsirkan agama, menolak pluralitas (keberagaman) dan julukan-julukan yang
dimaksudkan untuk memberikan kesan buruk. Padahal
makna asal radikal-radikalisme adalah berasal dari bahasa Latin “radix,
radicis”. Menurut The
Concise Oxford Dictionary (1987), berarti akar, sumber, atau asal
mula. Sedang dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal diartikan sebagai “secara
menyeluruh”, “habis-habisan”, “amat keras menuntut perubahan”, dan “maju dalam
berpikir atau bertindak”.
Istilah yang disandingkan dengan konotasi sangat positip
dari radikal yang negatip adalah “moderat”. Moderat jika digabung dengan kata
islam bisa memiliki makna sebagai islam yang anti kekerasan dan anti terorisme.
Lebih fatal lagi jika islam moderat diartikan menurut kepentingan orientalis
penjajah barat. Yakni islam yang memiliki pandangan dan sikap mendukung
demokrasi, mendukung kebebasan beragama,sekularisme,liberalism dan semua
ide kufur dari barat. Arti moderat sendiri adalah menghindarkan pengungkapan
atau prilaku yang ekstrim. Sedang
moderat menurut Khaleed Abou El Fadh adalah seorang muslim yang tidak
memperlakukan agama mereka laksana monumen yang beku, namun memperlakukannya
lebih ke dalam suatu kerangka iman yang aktif dan
dinamis. Sehingga seorang muslim moderat akan sangat menghargai berbagai macam
pencapaian yang diperoleh dari sesama muslim dari masa lalu, namum mereka juga
hidup di zaman sekarang. Islam moderat adalah sebuah
istilah yang tidak tepat, sebab islam sebagai suatu sistem sudah sempurna dan mempunyai
aturan serta definisi sendiri ketika diterjemahkan dalam kehidupan nyata
sehari-hari.
Karena itu, tuduhan radikal
sungguh aneh jika yang senantiasa dijadikan kambing hitam adalah umat Islam.
Upaya mengaji bersama sebagai pencegahan menunjukan kearoganan penguasa melalui
Menristekdikti. Pasalnya Mahasiswa senantiasa ditakut-takuti dengan
istilah—‘radikal’, ‘teroris’, ‘fundamentalis’—yang pada dasarnya mahasiswa
tidak memahaminya, bahkan terkesan akhirnya menimbulkan saling curiga dengan
stigma itu. Dunia kampus yang akademik akhirnya berubah menjadi sarang
ketakutan, bukan sebagai tempat dialog untuk mencari pemahaman yang benar. Di
sisi lain, upaya itu untuk menekan sikap politik mahasiswa yang mulai kritis
dan membungkam rasa keberislaman yang kaffah bagi mahasiswa. Selama ini dunia
kampus begitu kering dengan nilai spiritual, akibat liberalisasi dan kapitalisasi
di kampus. Maka sangat aneh jika tiba-tiba saja agenda ini diluncurkan?
Mendudukan Mengaji
Jika gerakan mengaji di kampus dengan tujuan untuk
membentengi mahasiswa dari paham radikal seperti pengertian diatas, maka
gerakan tersebut perlu ditinjau kembali. Sebab faktanya kekerasan yang terjadi
pada mahasiswa selama ini pada umumnya bukan bersumber dari agama yang
dipelajari selama dikampus. Murni
karena ketidakmampuan mereka dalam mengendalikan diri, yang lebih suka hidup
pragmatis. Sebagai konsekwensi logis dan buah
dari sistem pendidikan sekuler yang diterapkan negara. Juga aneh rasanya, kenapa
“radikalisme mahasiswa” baru dimunculkan setelah komunisme tumbang dan barat kapitalis mengusung
agenda war on terrorisme? Negara harus sadar bahwa istilah radikal-radikalisme
adalah salah satu dari sekian banyak istilah yang digunakan
musuh-musuh islam untuk memuluskan target mereka dalam memerangi islam dan kaum
muslim. Dan ini adalah cara halus (soft power) dan banyak yang tidak
menyadarinya.
Gerakan mengaji dikampus harus menjadi program wajib
semua kampus yang ada. Tidak hanya sekedar membaca al Qur’an semata. Pun diisi dengan mengkaji islam secara
paripurna/kaffah. Gerakan ini harus bisa menghasilkan mahasiswa yang bertaqwa
dan mandiri. Mahasiswa yang memahami islam sebagai sebuah sistem kehidupan yang
sempurna. Hasilnya akan munvul ciri
sadar akan politik islam, memahami konsep-konsep islam, memahami rencana busuk
musuh-musuh islam serta sadar akan kewajiban menerapkan hukum-hukum syariah
dalam kehidupan sehari-hari. Jika kesadaran tersebut ada, maka mereka
akan menuntun umat segera bangkit dengan membuang sistem demokrasi kapitalis
penjajah barat dan menggantinya dengan sistem islam, yakni khilafah ar rosyidah. Ketika
itu terjadi, maka tidak ada lagi kekerasan yang timbul dari istilah
radikal-radikalisme, tapi yang ada adalah kehidupan aman, sejahtera dan diridhoi Allah swt. Sudah seharusnya
Menristekdikti M Nasir menerapkan progam tersebut mumpung ada kesempatan, jika
tidak sekarang lantas kapan lagi? Wallahu a’lam bish showab.