Demokrasi Bukan Untuk Rakyat


Puspita Ningtiyas, mahasiswi STIS SBI Surabaya

Demokrasi adalah sebuah sistem yang menjadikan sumber, pelaksana dan objek hukum adalah rakyat. Begitulah prinsip yang telah kita kenal bersama yaitu “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Terlihat dari keterlibatan rakyat di setiap pemilihan wakil rakyat baik pusat maupun daerah setiap lima tahun sekali, sebagai pemilik hak pilih yang turut andil menentukan nasib bangsa selama lima tahun ke depan. Sayangnya keterlibatan yang dianggap istimewa tersebut memiliki batas waktu yang sangat singkat, setelah rakyat menggantungkan harapannya, tibalah saatnya pemimpin terpilih yang menjadi penentu, rakyat tidak berkutik, segala kebijakan tidak lagi mempertimbangan suara rakyat, melainkan hanya segelintir orang yang menjabat.

Sejatinya mustahil menjadikan demokrasi bersanding dengan rakyat. Demokrasi dengan sistem trias politikanya ( legislatif, eksekutif dan yudikatif) sebenarnya telah menjauhkan penguasa dari rakyat. Terlalu memaksa jika demokrasi harus menyertakan seluruh rakyat yang jumlahnya jutaan untuk menjadi subyek hukum, juga terlalu memaksa jika harus mengakui bahwa jutaan manusia di negeri ini, kebutuhan dan keinginannya  bisa di wakili oleh beberapa orang saja di parlemen.

Ketika masyarakat di nilai hanya sebagai kumpulan individu saja, dan semua individu pasti memiliki karakteristik, seharusnya demokrasi konsisten untuk mengakomodir seluruh perbedaan yang ada. Karena penguasa dan rakyat adalah entitas yang berbeda, tidak bisa dibolak balik : penguasa adalah rakyat dan rakyat juga penguasa ( karena peran keduanya sangat berbeda ), maka selama kepemimpinan terhadap rakyat masih berlangsung dan selama rakyat di atas namakan oleh penguasa untuk mempertahankan kepemimpinannya, seharusnya ada nama rakyat di setiap keputusan yang diambil, ada kepentingan rakyat disetiap undang-undang yang dihasilkan.

Tapi  sungguh  sayang seribu sayang demokrasi yang diterapkan di negeri ini, sebagai sistem politik yang memimpin subsistem lainya ( subsistem ekonomi, kesehatan, pendidikan dll) tidak mampu menjaga konsistensinya untuk berpihak pada kepentingan rakyat. Penguasa hanya condong dengan kepentingan kepenguasaannya, Terbukti fenomena periodik di negeri ini, pengangguran-kemiskinan- kriminalitas sosial seperti pembegalan, perampokan, narkoba bahkan kekerasan seksual dengan beragam motifnya tetap langgeng, semua masalah yang ada  hanya bermetamorfosis tanpa mengurangi dampak kerusakan yang terjadi. Jelaslah  Narasi indah yang di buat, “dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat” hanya membekas dalam cap jempol biru lima tahunan yang terus berulang tanpa perubahan nasib rakyat yang signifikan.

Dalam sebuah surat kabar dikutipkan ,“Praktik bagi-bagi sembako itu menyandera demokrasi. Saya berpandangan bagi-bagi sembako merupakan praktik politik uang.”kata pengamat politik dari Universitas Islam indonesia (UII) Yogyakarta Masnur Marzuki kepada SINDOnews, selasa 18 April 2017.

Yang menarik, bukan  pada bagaimana konsistensi demokrasi untuk mengakomodir  seluruh kepentingan rakyat  atau fenomena demokrasi yang di sandera oleh oknum yang haus kekuasaan, karena sejatinya konsep dasar demokrasi telah menjadikan demokrasi itu sendiri tidak bisa di terapkan untuk mengakomodir kepentingan rakyat, kalaupun dipaksakan yang nampak adalah politisasi naluri rakyat seperti fenomena yang terlihat baru-baru ini. Rakyat butuh jaminan keamanan, butuh jaminan kesehatan, butuh jaminan pendidikan, juga butuh jaminan pangan, sandang, papan.

Semuanya akan mampu diwujudkan dengan konsep netral yang bukan berasal dari segelintir orang, butuh konsep yang mampu mengayomi seluruh kepentingan tanpa tendensi apapun dan itu hanya berasal dari Islam. Islam berasal dari Penciptanya manusia, dari pengelola tatanan kehidupan manusia,maka konsep Islam yang akan mampu mewujudkan jaminan hidup manusia tanpa memunculkan efek samping berupa kerusakan baru seperti yang terjadi saat ini.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama