Rasionalisasi Sekulerisme: Doktrin Menyesatkan



Puspita Ningtiyas, Mahasiswi Ekonomi Syariah STIS SBI Surabaya

Hari ini negeri ini masih sama, masih menjadi negeri muslim. Juga budaya gotong royong dan solusi kekeluargaan masih menjadi pilihan  utama daripada menghabiskan tenaga untuk memperjuangkan hak dan melawan otoritas yang lebih kuat. Negeri ini menjadi negeri muslim yang ramah, penuh  toleransi tapi sayang tidak  berstandarkan pada status mendasar yang sudah dimiliki yaitu  negeri muslim  yang harusnya menjadikan Islam sebagai pijakan.

Jadilah negeri ini negeri yang labil, satu sisi penduduknya mayoritas muslim yang sudah barang tentu ingin islam di terapkan, tapi otoritas yang ada menolak agama disertakan dalam politik yang implikasinya menepikan urusan agama dari sosial masyarakat. Hati dan lisan masyarakat tak lagi berkorelasi, perasaan dan pemikiran tak lagi menyatu. Mediapun menyambut hangat bahkan ikut andil dalam masalah ini.

“Ada faktor primordial, faktor karakter Ahok yang menjadi beban, Anies-Sandi dipilih karena ramah dan santun dipilih, di sisi lain Ahok memiliki masalah agama tapi faktor kinerja dan kepuasan publik menguatkan Ahok, ini pertarungan sisi emosionalitas dan rasionalitas,"kataYunarto.[1]

"Ada 44,9 persen responden menilai bahwa Ahok-Djarot dianggap paling mampu membenahi Jakarta, sementara yang menilai Anies-Sandi paling mampu hanya 40,9 persen, dan sekitar 14,6 persen menjawab tidak tahu," tutur Rico.[2]

Yang menarik dari kutipan di atas adalah jika harusnya kriteria pemimpin itu berintegritas Islam dan berkompeten sebagai pemimpin, hari ini masyarakat seolah di paksa mengorbankan salah satu kriteria tersebut dan memihak pada yang lebih memberikan manfaat. Identitas negeri ini tergadaikan oleh asas manfaat hasil penerapan konsep sekulerisme- pemisahan agama dari kehidupan.   

Agama tidak lagi di indahkan, tinggal-lah manfaat yang menjadi rujukan tempat memandang semua persoalan. Bahkan agama Islam dianggap tidak rasional, jadilah masyarakat sama sekali tidak melirik Islam sebagai pijakan dalam berbagai urusan termasuk dalam memilih pemimpin. Jika pemimpin muslim tidak terlihat memberikan manfaat-arogan, tidak ramah, kurang kompeten dan lain sebagainya, maka orang kafir lebih layak menjadi pemimpin. 

Inilah bahayanya cara berfikir sekuler- yang terus memisahkan antara agama dan politik. Bukan hanya  semakin menambah ruwet persoalan- karena sumber persoalan adalah tidak adanya Islam dalam realitas kehidupan-tapi juga bentuk pembangkangan kepada Allah yang telah menetapkan  Islam sebagai rule kehidupan.
Pandangan dan sikap sekuler  terus berkembang ini memang tidak bisa dilepaskan dari sistem pendidikan sekuler yang ada saat ini sehingga melahirkan generasi yang abai terhadap pijakan agamanya.  Lembaga survei juga  telah menjadi alat pengokoh kebobrokan sistem/rezim saat ini yang bernafas sekulerisme dan menyudutkan Islam di setiap fenomena yang diberitakan.

Dari berbagai bidang, Islam diusir dari kehidupan dan terus dijadikan kambing hitam padahal  Islam agama yang rasional yang layak dijadikan rujukan, islam hadir memang menyelesaikan persoalan untuk diterapkan bukan untuk diasingkan. Menerapakan Islam berarti menghancurkan sekulerisme-pangkal persoalan yang ada saat ini. Sehingga tidak ada cara lain-selain  menerapkan Islam secara sempurna.

Wallahu ‘alam


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama