Sistem Islam: Pelindung Terbaik Bagi Anak


Oleh : Rahmat Abu zaki (Syabab Hizbut Tahrir Indonesia)

Masyarakat kembali dikejutkan dengan kasus pemerkosaan masal yang terjadi di Samarinda. Anak usia 12 tahun diperkosa di angkot. Saat ini polisi terus memburu para pemerkosa Cinderela (nama samaran), bocah 12 tahun warga Samrinda Seberang. Kasus yang menimpa Cinderela memang menyentak perhatian publik. Betapa tidak, dia diperkosa belasan orang selama empat hari berturut-turuta di empat lokasi berbeda di Kota Tepian.

Cinderela dibawa salah seorang pelaku pada 16 Februari dan dikembalikan di dekat rumahnya pada 20 Februari. Baru satu pelaku yang ditangkap polisi. Kini penegak hukum terus memburu tersangka lain.

Berdasar keterangan AR, ayah korban, anak tirinya yang baru menginjakkan kaki di ibu kota Kaltim sejak akhir 2016 tersebut diperkosa belasan orang. “Awal-nya delapan, berubah 11, sampai yang terbaru 13 orang. Kabar dari lembaga pemerintah, lebih dari itu pelakunya,” ujar pria 38 tahun tersebut dengan mata berkaca-kaca.

Cinderela menjadi korban pemerkosaan di empat lokasi dalam empat hari berturut-turut. Disekap dan dipaksa meladeni tindakan tak senonoh sekelompok orang, Cinderela tidak mampu melawan. Pria yang dihadapi lebih besar daripada korban. Cinderela meronta dan meminta pertolongan. Sayang, tidak ada yang mendengar teriakan gadis belia itu. (Jawa Pos, Kamis 16 Maret 2017).

Kekerasan Seksual Anak Terus Meningkat

Kekerasan seksual terhadap anak menjadi salah satu perhatian penting bagi masyarakat Indonesia, dikarenakan kasus yang terjadi semakin meningkat secara signifikan daripada kasus kriminalitas yang lain. Berdasarkan data Komnas Perempuan, memaparkan bahwa tahun 2015 lalu ada sekitar 6.499 kasus kekerasan seksual, termasuk kepada anak-anak. Apabila dibandingkan dengan tahun 2014, tercatat ada 3.860 kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk anak-anak. Pada tahun 2013, KPAI merilis data kekerasan anak dalam catatan jaksa Indonesia mencapai 4.620 kasus, termasuk kekerasan seksual.Di tahun 2012, Komnas PA menyebut ada 2.637 kasus kekerasan anak dan 41% merupakan kekerasan seksual (Anonimous, 2016).

Kebanyakan terjadinya kasus kekerasan terhadap anak terutama kekerasan seksual disertai dengan tindakan pembunuhan. Beberapa contoh kasus kekerasan seksual terhadap anak yang cukup menyita perhatian publik yaitu kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di Jakarta International School (JIS) yang diduga dilakukan oleh pegawai sekolah tersebut, kasus kekerasan seksual yang terjadi pada Yuyun 14 tahun, meninggal dengan cara yang cukup mengenaskan setelah diperkosa 14 remaja yang rata-rata berusia di bawah 20 tahun, kasus yang menimpa Eno 18 tahun, ia dibunuh setelah diperkosa, dan di Medan, terdapat seorang ayah yang tega mencabuli anak perempuannya yang baru berumur 18 bulan (Noviana, 2015). Berdasarkan data dan contoh kasus diatas, menurut Ketua Komnas Perlindungan Anak mengatakan bahwa Indonesia sedang dalam kondisi darurat kekerasan seksual anak (Hermawan, 2015). (http://www.kompasiana.com/dinaindahsari/indonesia-darurat-kekerasan-seksual-anak-save-the-children_5768fb70539773c00782e74e)

Sistem Gagal Melindungi Anak

Makin banyak kasus kekerasan terhadap anak menguatkan bukti bahwa sistem dan negara gagal melindungi anak. Kegagalan itu karena upaya yang dilakukan tidak pernah menyentuh faktor penyebab apalagi akar masalahnya. Negara juga telah dilucuti fungsinya sekadar sebagai pembuat regulasi (aturan) dan bukan sebagai penanggung jawab dalam perlindungan warganya, terutama anak-anak. Negara pun banyak melempar tanggung jawab penyelesaian pada peran keluarga dan keterlibatan masyarakat.

Berbagai kebijakan Pemerintah selama ini juga gagal. Banyak kebijakan bahkan saling bertabrakan. Pemerintah mengandalkan keluarga sebagai pemeran penting dalam pendidikan dan perlindungan anak. Namun, itu dinihilkan oleh kebijakan yang mengaruskan para ibu untuk memasuki dunia kerja demi kepentingan ekonomi dan mengejar eksistensi diri dengan program pemberdayaan ekonomi perempuan. Akibatnya, ibu dipisahkan dari anak. Fungsi ibu dalam mendidik anak pun tak terlaksana. Pemerintah meminta keluarga agar menjadi pembina dan penjaga moral anak. Namun, Pemerintah pun memfasilitasi bisnis dan media yang menawarkan racun kepornoan. Berbagai pemicu hasrat seksual juga dibiarkan tersebar luas.

Negara memiliki program untuk membangun ketahanan keluarga. Namun, alih-alih menguatkan, Pemerintah justru menguatkan ide-ide penghancuran keluarga melalui pengarusutamaan gender. Negara juga tidak memiliki kurikulum yang berorientasi menghasilkan individu calon orangtua yang mampu mendidik dan melindungi anak.

Sistem Islam: Pelindung Terbaik

Semua masalah terkait anak itu berakar pada sistem sekular kapitalis liberal yang diterapkan di berbagai lini kehidupan saat ini. Selama sistem sekular kapitalis liberal itu terus dipertahankan maka perlindungan terhadap anak akan terus menjadi problem.

Perlindungan anak hanya bisa diwujudkan dengan menerapkan sistem Islam. Sistem Islam akan mampu mewujudkan perlindungan terhadap anak dengan tiga pilar: ketakwaan individu, kontrol masyarakat serta penerapan sistem dan hukum Islam oleh negara.

Islam mewajibkan Negara untuk terus membina ketakwaan individu rakyatnya. Negara menanamkan ketakwaan individu melalui kurikulum pendidikan, seluruh perangkat yang dimiliki dan sistem pendidikan baik formal maupun informal. Negara menjaga suasana ketakwaan di masyarakat antara lain dengan melarang bisnis dan media yang tak berguna dan berbahaya, semisal menampilkan kekerasan dan kepornoan.

Individu rakyat yang bertakwa tidak akan melakukan kekerasan terhadap anak. Masyarakat bertakwa juga akan selalu mengontrol agar individu masyarakat tidak melakukan pelanggaran terhadap hak anak. Masyarakat juga akan mengontrol negara atas berbagai kebijakan negara dan pelaksanaan hukum-hukum Islam.

Negara menerapkan sistem dan hukum Islam secara menyeluruh. Sistem ekonomi Islam yang diterapkan negara akan mendistribusikan kekayaan secara berkeadilan dan merealisasi kesejahteraan. Kekayaan alam dan harta milik umum dikuasai dan dikelola langsung oleh negara. Seluruh hasilnya dikembalikan kepada rakyat baik langsung maupun dalam bentuk berbagai pelayanan.

Dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, Negara akan mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pokok tiap individu (pangan, sandang dan papan); juga akan mampu menjamin pemenuhan kebutuhan dasar akan kesehatan, pendidikan dan keamanan. Dengan begitu tekanan ekonomi sebagai salah satu faktor pemicu besar munculnya pelanggaran terhadap hak anak bisa dicegah sedari awal. Kaum ibu juga tidak akan dipisahkan dari anak-anak mereka. Kaum ibu bisa melaksanakan fungsinya sepenuhnya dalam merawat dan mendidik anak-anak mereka.

Penerapan sistem Islam akan meminimalkan faktor-faktor yang bisa memicu kasus pelanggaran dan kekerasan terhadap anak. Namun, jika masih ada yang melakukan itu, maka sistem ‘uqûbat (sanksi hukum) Islam akan menjadi benteng yang bisa melindungi masyarakat. Caranya adalah dengan pemberian sanksi hukum yang berat, yang bisa memberikan efek jera bagi pelaku kriminal dan mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa.

Pelaku kekerasan yang menyebabkan kematian anak, tanpa kekerasan seksual, akan dijatuhi hukuman qishâsh. Pelaku pedofilia dalam bentuk sodomi, meski korban tidak sampai meninggal, akan dijatuhi hukuman mati. Rasul saw bersabda:

“Siapa saja yang kalian temukan melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual) maka bunuhlah pelaku (yang menyodomi) dan pasangannya (yang disodomi).” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, al-Hakim dan al-Baihaqi).

Tentu anak sebagai korban tidak akan dikenai sanksi itu. Sebaliknya, ia akan dijaga kehormatan dan martabatnya.Jika kekerasan seksual terhadap anak itu dalam bentuk perkosaan, maka pelakunya, jika muhshân, akan dirajam hingga mati; sedangkan jika ghayr muhshân, akan dicambuk seratus kali. Jika pelecehan seksual tidak sampai tingkat itu maka pelakunya akan dijatuhi sanksi ta’zîr, yang bentuk dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad Khalifah dan qâdhi (hakim). Pelaksanaan semua sanksi itu dilakukan secara terbuka, dilihat oleh masyarakat dan segera dilaksanakan tanpa penundaan lama. Dengan itu pelaku kekerasan terhadap anak tidak akan bisa mengulangi tindakannya. Anggota masyarakat lainnya juga tercegah dari melakukan tindakan kejahatan serupa.

Pelaksanaan sistem Islam secara menyeluruh akan memberikan perlindungan terbaik bagi anak. Untuk itu penerapan syariah Islam di bawah sistem Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah menjadi keniscayaan. Itulah yang semestinya sesegera mungkin diwujudkan oleh seluruh kaum Muslim sehingga anak-anak akan mendapat perlindungan terbaik. 

WalLâh a’lam bi ash-shawâb.

Catatan Kaki :
1)             Jawa Pos, Kamis 16 Maret 2017

3)             https://hizbut-tahrir.or.id/2015/10/07/perlindungan-terbaik-bagi-anak/

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama