Oleh
M Iwan Fikriawan (Praktisi Pendidikan Bondowoso)
“Kebahagiaan
adalah arti dan tujuan hidup,
seluruh tujuan dan akhir keberadaan manusia”, Demikian kata Aristoteles suatu saat. Semua manusia pasti mencari kebahagiaan dalam
hidupnya. Segala cara dan usaha dikerahkan demi meraih apa yang disebut
“bahagia” tadi. Yang beda hanya cara dan sudut pandang saja, Kaum pragmatis,hedonisme yang subur di era
kapitalis liberalis beranggapan bahwa bahagia itu dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin, dan sedapat mungkin
menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan, yang semuanya diukur dengan
kebutuhan-jasmani semata. Sedang islam
memandang bahagia adalah ketika “ridha” Allah swt diperoleh. Kunci bahagia
tersebut adalah Iman-percaya. Ibn Taimiyah pernah berkata "Tiada satu pun
di antara nikmat-nikmat dunia yang
menyamai nikmat akhirat(berupa surga yang kekal), kecuali nikmat Iman dan
Ma'rifah(mengenal rabb dan diin yang mulia ini)". (Majmû al Fatâwa, 3/28)
Namun tidak semua iman bisa mendatangkan kebahagiaan.
Iman yang dimajaskan seperti pohon lalu memiliki buah hingga ia terasa manis
meski entah seperti apa rasanya, namun apakah semua orang bisa merasakannya?!
Jawabannya tidak, karena pohon baru bisa berbuah ketika akarnya teguh dan
pohonnya kuat. (QS. Ibrahim : 24-25). Jadi ia tidak mudah dirasakan oleh setiap
orang. Nabi saw menggambarkan manisnya iman tersebut;
"Tiga hal, barangsiapa memilikinya maka ia akan
merasakan manisnya iman. Menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari
selainnya, Mencintai seseorang semata-mata karena Allah, Dan benci kembali
kepada kekufuran sebagaimana bencinya ia jika dilempar ke dalam api
neraka." (al-Hadits)
Ulama
menjelaskan bahwa manisnya iman (حَلاَوَةُ
الإِيمَانِ) adalah merasakan lezatnya ketaatan dan memiliki daya tahan
menghadapi rintangan dalam menggapai ridha Allah, lebih mengutamakan ridha-Nya
dari pada kesenangan dunia, dan merasakan lezatnya kecintaan kepada Allah
dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya
أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ
مِمَّا سِوَاهُمَا,Menjadikan Allah dan Rasul-Nya
lebih dicintai dari selainnya. Ini tanda awal mukmin merasakan manisnya iman,
yaitu mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi selainnya.Seorang mukmin haruslah
menyempurnakan cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.Cinta kepada Allah dan
Rasul-Nya tidak cukup hanya sekedarnya, tetapi harus melebihi dari yang
selainnya. Inilah rahasia Bilal sanggup menahan panasnya pasir dan terik surya,
menahan beratnya batu yang menindihnya, serta hinaan menyakitkan Umayyah dan
kawan-kawannya. Dalam kondisi demikian, Bilal tetap melantunkan manisnya iman
melalui lisannya: "ahad, ahad...". Demikian pula Khabab bin Al Art
seakan tak merasakan luka menganga di tubuhnya yang disalib. Maka ketika
diminta pendapatnya bagaimana jika Rasulullah saw yang menggantikannya, ia
menjawab dalam nada manisnya iman: "Bahkan aku tak rela jika kaki
Rasulullah tertusuk duri".Manisnya iman pula, nampak disaat
sahabat-sahabat Ansar rela pulang tangan kosong tanpa ghanimah dalam Perang
Hunain.Isak tangis mengharu biru ketika mereka tersadar bahwa Rasulullah saw
hendak meneguhkan Islam para muallaf Makkah. Sementara mereka pulang hanya membawa
Rasulullah saw saja.
وَأَنْ
يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ, Dan mencintai seseorang semata-mata karena Allah.Jika
kecintaan kepada Allah dan rasulNya adalah yang pertama dan tidak boleh terkalahkan
oleh selainnya, bukan berarti kita tidak diperkenankan mencintai sesama.Cinta
itu naluri manusia. Maka mencintai kedua orang tua, anak, saudara, sahabat, dan
sesama mukmin juga dibutuhkan dengan syarat karena Allah semata. Generasi awal
umat ini adalah generasi yang sukses dalam membina cinta karena Allah ini. Dengan
cinta lillah, suku Aus dan Khazraj yang semula bermusuhan menjadi bersaudara di
bawah satu bendera, Ansar. Begitu juga Muhajirin dan anshar yang belum pernah
bersua pun, tiba-tiba menjadi saling berbagi. Membagi harta , kebun dan rumah
agar bisa sama-sama hidup layak dalam perjuangan bersama.
Jika dua hal yang pertama adalah pekerjaan mencintai,
hal ketiga adalah sebaliknya, membenci. Yakni membenci kekufuran. Maksud
kekufuran adalah sistem jahiliyah yang saat itu telah ditinggalkan dan diganti
dengan sistem Islam. Dalam riwayat Muslim, redaksi hadits berbunyi : النَّارِ وَأَنْ
يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا
يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي ,
Dan benci kembali kapada kekufuran setelah diselamatkan oleh Allah, sebagaimana
kebenciannya dilempar ke dalam api neraka. Dan itulah yang lagi-lagi kita
dapati pada generasi sahabat Nabi. Maka ketika Sayyid Quthb memotret tiga
karakter sahabat yang menjadi faktor utama keberhasilan mereka, salah satunya beliau
catat: "Saat mereka masuk Islam dan mendapat Al-Qur'an seketika mereka
melepas seluruh kejahiliyahan". Rasulullah SAW dalam berbagai kesempatan
juga mengingatkan para sahabat agar jangan sampai kembali kepada kejahiliyahan,
meskipun hanya sebagian sifatnya.Maka Rasulullah saw mengingatkan kaum Anshar
ketika hampir saja mereka bermusuhan kembali antara suku Aus dan Khazraj
seperti perang bu'ats. Rasulullah saw juga mengingatkan Abu Dzar ketika berselisih
dengan Bilal lalu mencelanya dengan nada sentimen kesukuan." Sungguh dalam
dirimu ada perilaku jahiliyah " tegur Rasulullah yang selalu dikenang Abu
Dzar. Dan sejak saat itu ia lebih mencintai dan menghormati Bilal.
Bahagia
Hindari Jahiliyah
Kejahiliyahan adalah berbagai hal yang menyimpang dari
Islam, ketika hukum yang diterapkan bukan hukum Allah, Melanggar dari segala apa yang diatur oleh
Islam baik karakter, attitude (tingkah laku), sistem hukum, dll. Seharusnya
semua segera ditinggalkan, diganti
dengan sistem Islam khilafah ar rosyidah sebagai mana para sahabat
lakukan. Tanpa khilafah yang mengatur hidup ini, manisnya iman adalah sesuatu
yang sulit diperoleh karena negara tidak peduli dengan keimanan warganya. Manisnya iman dapat terwujud tatkala cahaya
ilmu menyinari dunia menghilangkan kegelapan jahiliyah. Hijrah dari sistem
jahiliyah kepada sistem islam adalah tindakan nyata. Khilafah yang berdasarkan
aqidah islamlah yang mampu mewujudkannya. Semoga khilafah segera tegak dan kita
termasuk orang yang bisa merasakan manisnya iman tersebut., Aamiin yaa Robbal ‘Aalamiin