Liberalisme Menancap Tajam, Bagaimana Kembali ke Islam?


Adjih Mubarok[1]

Liberalisme dalam arti yang luas yakni dalam bidang politik (demokrasi), ekonomi (kapitalisme) dan agama (sekularisme) secara sistemik telah benar-benar mampu menguasai Indonesia. Sebagian besar rakyat Indonesia menjalankan kehidupannya mirip dengan apa yang dikatakan oleh al-Khalil bin Ahmad, rajulun laa yadri wa laa yadri annahu laa yadri, (mereka tidak sadar dan tidak sadar pada ketidaksadarannya).[2]

Demokrasi, sebagai ide politik yang telah masuk dalam kurikulum pendidikan di Indonesia dari tingkat sekolah dasar hingga tinggat perkuliahan, seolah membuat rakyat Indonesia tidak punya gagasan lain dalam berpolitik. Fenomena ini bukan hanya saja menimpa masyarakat awam, akan tetapi juga menimpa aktivis Islam. Anis Matta misalnya, mantan petinggi partai berhaluan Ikhwanul Muslimin dalam Menikmati Demokrasi, memiliki pandangan bahwa demokrasi tidak lebih dari sekedar ‘alat dakwah’ dan ia, adalah sistem politik yang dekat dengan Islam oleh karena persamaan dalam partisipasi rakyat.[3]

Kapitalisme, sebagai ide pengaturan kepemilikan harta yang menekankan pada persaingan pasar, individualism dan akumulasi modal, sudah terlanjur diterapkan dan berjalan menuju kemapanan, dengan instrument-instrumen pembangun sistem ekonominya. Perbankan, Pasar Modal, Uang Kertas, dan Peraturan-peraturannya, telah menancap tajam di negeri kita. Rakyat Indonesia sudah barang tentu tidak akan habis pikir bagaimana kehidupan modern tanpa adanya perbankan dan uang kertas. Para pelaku bisnis juga tidak akan habis pikir bagaimana keberlangsungan ekonomi tanpa instrument diatas. Padahal ke semua instrument ekonomi diatas secara substansi bertentangan dengan Islam. Itulah Kapitalisme, yang disebut oleh Riawan Amin sebagai Sistem Keuangan Syetan.[4]

Sekularisme (fashl ad-din ‘an al-hayah) yang ada di Indonesia juga merupakan tantangan tersendiri dalam kehidupan keagamaan di Indonesia. “Jangan bawa-bawa politik dalam agama” merupakan jargon yang sangat khas kita dengar di negeri ini. Yang mengatakan demikian bukan saja takmir masjid di lingkungan kita, akan tetapi juga tidak sedikit dari cendikiawan muslim lulusan Timur-Tengah terjebak dalam jargon tersebut. Sepertinya sulit sekali terbayang di benak kaum muslimin tentang hal yang cukup sederhana, yakni kaitan antara politik dengan agama. Jika mafahim mereka saja tidak terbentuk bagaimana hubungan politik dan agama, maka berbicara konsepsi politik dalam Islam (baca: Khilafah) pun tidak akan nyambung. Kita perlu sadari realitas tersebut.

Pengaruh Barat terhadap Liberalisasi di Indonesia

Indonesia sejak proklamasi kemerdekaannya, bukan negara yang Demokrasi dengan sendirinya. Akan tetapi ada diskusi yang alot di BPUPKI antara pihak Nasionalis-Sekuler, Islamis-Nasionalis dan Kristen-Sekuler –yang hakikatnya cenderung kepada Nasionalis Sekuler- dalam menentukan “apa” yang akan digunakan sebagai sistem negara. Kaum Islamis yang menawarkan Islam ditolak oleh kaum Sekuler dengan alasan akan terbenturnya dengan adat-istiadat pribumi dan juga ancaman wilayah-wilayah Kristen yang akan memisahkan diri dari NKRI. Soekarno sebagai Ketua BPUPKI tentu saja memilih sikap kompromistis terhadap Islam –selayaknya kaum Sekuler memperlakukan agama dihadapan pemerintahan- dengan menetapkan sebuah pemerintahan yang nantinya disebut oleh sejarawan modern sebagai Demokrasi-Perjuangan[5]

Mahfud MD menyatakan bahwa persetujuan penerapan demokrasi atas Indonesia adalah karena hampir semua negara-negara di dunia saat itu juga menggunakan demokrasi sebagai sistem berpolitik dan bernegara. Artinya Indonesia, dengan kepungan pengaruh berbagai negara di dunia yang demokratis –termasuk Turki yang dahulu Negara Islam pun berubah menjadi negara Republik-Sekuler- sangat mempengaruhi terpilihnya demokrasi sebagai sistem berpolitik dan bernegara di Indonesia.[6]

Indonesia juga tidak tiba-tiba menjadi negara yang ber-Kapitalisme jika bukan karena adanya grand design Amerika melalui CIA, Economic Hitman (bandit ekonomi), dan agen-agen ekonomi Liberal dalam negeri seperti Soeharto –salah satunya- yang dengan rela menyerahkan sumber daya alam Indonesia kepada asing atas nama investasi dan pertumbuhan ekonomi.[7]

Gagasan Sekularisme Agama di Indonesia oleh Nurcholis Madjid juga bukan gagasan yang murni darinya. Ia terpengaruh sekali dengan Harvey Cox dan Robert N. Bellah dalam gagasan Sekularisme yang kemudian ia adopsi dan modifikasi atasnya.[8] Bukan juga gagasan murni dari Harun Nasution untuk menggagas Liberalisasi perguruan tinggi di Indonesia, akan tetapi ada campur tangan dari Misionaris –sekaligus Orientalis- yang dari ulahnya ini, sarjana-sarjana dari PTAIN wisuda dengan tertancap ide-ide Islam Liberal dibenaknya.[9]

Menggagas Perlawanan

Islam sebagai jatidiri penduduk Indonesia, sesungguhnya bukan tanpa sebab mengalami marjinalisasi. Barat memikirkan dengan benar strategi-strategi yang digunakan dengan untuk liberalisasi Islam. Sejak sebelum runtuhnya Khilafah Usmaniyyah di Turki pada tahun 1924, gagasan liberalisasi dunia Islam telah dituangkan oleh Misionaris-Orientalis, Samuel Zwemmer dalam Islam: A Challenge to Faith (1907).

Bukan hanya melakukan infiltrasi ide-ide liberal –sebagaimana sering kita sebut sebagai perang pemikiran (shira al fikr atau ghazw al-fikr) ditengah-tengah pemikiran Islam, akan tetapi Barat paham benar ada hubungan searah antara meruntuhkan Khilafah Usmaniyyah dengan liberalisasi dunia Islam.

Oleh karenanya, searah dengan apa yang selama ini dilakukan oleh Hizbut Tahrir untuk mewujudkan kehidupan Islam dengan menegakkan kembali Khilafah, menutup corong-corong lain pun perlu dilakukan seserius Barat menghancurkan Islam. Corong tersebut adalah pemikiran, gerakan dan juga kekuasaan.

Kita perlu mendudukkan antara aktivitas perlawanan pemikiran dengan perlawanan pemikiran juga. Melawan ide dengan ide, konsep dengan konsep, liberalism dengan Islam. Yang mana menuntut kita melakukan tatsqif dan juga upgrading dengan serius pula. Akhirnya terbentuklah tokoh-tokoh Islam Ideologis yang mampu head to head dengan tokoh-tokoh Liberal.

Begitupun dengan adanya gerakan-gerakan liberal, tentu saja perlu kita imbangi dengan adanya gerakan yang sama untuk melawan, bukan hanya dengan ke-Super-an satu orang tokoh saja sebagaimana ini marak terjadi ditengah kaum muslimin. Misalnya, tidaklah sepadan jika Jaringan Islam Liberal dilawan oleh seorang Ismail Yusanto saja, atau K.H. Shiddiq al-Jawi saja atau individu syabab yang lain saja.

Begitupun urgensi tegaknya Syariat Islam dalam bingkai Daulah Islamiyyah, adalah merupakan syarat mutlak untuk mengakhiri permusuhan sempurna dari negara-negara pengusung liberalism (baca: Amerika dan Eropa) agar perlawanan apple to apple. Tidaklah mampu kelompok kajian akademis seperti Insists misalnya, melawan hegemoni Amerika dan Eropa.

Persepsi inilah yang selama ini hilang dari pembahasan para counter-orimic yang mencukupkan diri pada diskusi ilmiah yang bersifat akademis tanpa memandang urgensinya kesadaran politik Islam sebagai landasan mewujudkan kemenangan yang hakiki, yakni mendapatkan kemuliaan dengan diterapkan Syariat-Nya di dunia dan mendapat ridho Allah SWT di akhirat kelak. In syaa Allah.

Wallahu a’lam bi ash-Shawwab.





[1] Disampaikan dalam Halqah Syahriyyah Ahad 12 Maret 2017
[2] Al-Madkhol ila as-Sunan, al-Baihaqi, perkataan diatas adalah hadits maqthu’ nomor hadits 670 versi library.islamweb.net
[3] Lihat Anis Matta, Menikmati Demokrasi: Strategi Dakwah Meraih Kemenangan, (Jakarta: Pustaka Saksi, 2003)
[4] Lihat A. Riawan Amin, Satanic Finance: True Conspiracies, (Jakarta: Celestial Publishing, 2007)
[5] Lihat Adian Husaini, Pancasila Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2009)
[6] Lihat Moh. Mahfud M. D., Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 1999)
[7] John Perkins, Pengakuan Bandit Ekonomi, (Jakarta: Abdi Tandur, 2005)
[8] Lihat Adnin Armas, Pengaruh Kristen Orientalis terhadap Islam Liberal, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004)
[9] Lihat Adian Husaini, Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam, (Gema Insani Press, 2009)


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama