Lutfi
Sarif Hidayat, SEI (Pemerhati
Ekonomi Politik)
Pemerintah
mewacanakan akan menggunakan Dana Haji, yang notabene setoran dari calon jamaah
haji sebagai penyertaan dalam pembangunan infrastruktur. Hal ini sebagaiman
dikutip dalam sindonews.com, 10/1/2017 bahwa Menteri PPN/Kepala Bappenas
Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, dana haji akan bisa menjadi sumber pendanaan untuk
pembangunan infrastruktur. Pemerintah
saat ini sudah membuat proyek infrastruktur dengan berbasis ke sukuk sebagai
bagian dari pembiayaan.
Menteri
PPN mengatakan, “Dana haji buat infrastruktur, intinya nanti dia bisa ikut
penyertaan. Sekarang ini kan kita sudah bikin namanya proyek berbasis sukuk.”
Mantan menteri keuangan ini menuturkan, pembiayaan melalui sukuk tersebut bisa
menggunakan dana haji secara tidak langsung. "Sukuknya ya bisa dari dana
haji misalkan, bisa kita pakai untuk infrastruktur. Jadi, tidak langsung, bisa
juga dana haji harus ada badannya dulu," kata dia. Pada intinya, Bambang
menegaskan, dana haji ke depannya akan menjadi bagian dari modal yang akan
digunakan untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia. "Yang jelas
nantinya dia bisa berpartisipasi untuk pendanaan dari capital-nya
infrastruktur, modalnya infrastruktur," tuturnya. (sindonews.com,
10/1/2017)
Bahkan
wacana ini juga disampaikan langsung oleh Presiden Jokowi sebagaimana dikuti
dalam inilah.com, 14/3/2017 bahwa pada hari Senin (13/3/2017) saat
menerima Panitia Seleksi Calon Anggota Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) di
Istana Merdeka, Presiden Jokowi kembali berpesan pengelolaan dana haji harus
dilakukan secara profesional dan menguntungkan, termasuk menginvestasikannya ke
berbagai proyek infrastruktur.
"Investasinya
di proyek-proyek yang sudah jelas peruntungannya. Misalnya, jalan tol,
pelabuhan, sehingga tidak dikhawatirkan dana hilang. Itulah komentar tadi dari
Pak Jokowi," kata Mulya Effendy Siregar, Ketua Panitia Seleksi Calon
Anggota BPKH usai bertemu Presiden Jokowi. Ini merupakan yang kesekian kalinya
Presiden Jokowi mengucapkan soal itu. Sejauh ini akumulasi dana setoran awal
Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) saban tahun terus meningkat. Tahun
2014 tercatat sebesar Rp 73,79 triliun, kemudian tahun 2015 mencapai Rp 81,59
triliun, tahun 2016 sebesar Rp89,9 triliun, dan tahun 2017 diperkirakan bisa
mencapai Rp97,18 triliun. (inilah.com, 14/3/2017)
Direktur
Pengelolaan Dana Haji Direktorat Jenderal Pengelolaan Haji dan Umrah
Kementerian Agama Ramadhan Harisman pernah mengatakan, dana haji itu di
antaranya ditempatkan pada deposito syariah dan surat berharga syariah negara
(SBSN). Tahun 2016, setoran awal pemberangkatan ibadah haji ditetapkan Rp 25
juta. Sementara, rata-rata biaya penyelenggaraan ibadah haji 2016 mencapai Rp
34,6 juta, atau US$ 2.585 dengan asumsi kurs Rp 13.400 per dolar AS. Menurut
Ramadhan, biaya penyelenggaraan ibadah haji tahun 2016 turun US$ 132 dibanding
rata-rata 2015, yang tercatat US$ 2.717. (inilah.com, 14/3/2017)
Biaya
penyelenggaraan ibadah haji itu berbeda di masing-masing embarkasi. Dari 12
embarkasi, biaya haji paling mahal di Makassar, yakni mencapai Rp 38,9 juta,
disusul Lombok Rp 37,7 juta, Balikpapan dan Banjarmasin Rp 37,5 juta, sedangkan
termurah di Aceh Rp 31,1 juta. Komponen biaya penyelenggaraan ibadah haji itu
di antaranya meliputi tiket pesawat, airport tax, passenger service charge,
pemondokan di Mekkah, Madinah, dan living allowance. (inilah.com,
14/3/2017)
Sementara
itu Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin
sepertinya memberikan sinyal sepakat dengan wacana tersebut sebagaiman beliau
mengatakan, "Saya pikir ada baiknya juga, apa salahnya kalau digunakan
dengan infrastruktur," ujarnya singkat di Kompleks Parlemen, Senayan,
Jakarta. (jawapos.com, 16/1/2017)
Meski dalam kesempatan lain Menteri Agama Lukman Hakim
Saifuddin menegaskan pihaknya sama sekali belum
mewacanakan penggunaan dana haji untuk pembangunan infrastruktur di sejumlah
daerah. Sebelumnya, Kepala Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengusulkan agar dana haji yang tersimpan di
pemerintah digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Namun, Lukman mengaku
usulan itu hanya sebatas wacana. (kompas.com, 17/1/2017)
Dan
jika wacana ini menjadi kenyataan, ini adalah bentuk kegagalan dari pemerintah mengelola
negara ini. Sehingga, sebagai warga negara sudah semestinya menolaknya. Banyak
alasan yang mendasari penolakan terhadap wacana tersebut.
Pertama. Secara fakta wacana
tersebut masih menjadi pembicaan sebagian pihak, dan belum dibicarakan secara
mendalam dengan pihak-pihak terkait, semisal DPR, MUI dan yang paling penting
adalah warga yang menyetor dana tersebut.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Iskan Qolba
Lubis menolak penggunaan dana setoran haji untuk
membiayai pembangunan infrastruktur oleh
Kementerian Agama. Menurutnya, penggunaan dana setoran haji yang telah
ditempatkan pada Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau instrumen sukuk
harus sesuai peruntukannya dan harus melalui pembahasan dengan Komisi VIII DPR
RI. Selain itu, Politisi PKS dari Dapil Sumatera Utara I ini menuturkan,
penggunaan dana setoran haji yang tak sesuai peruntukannya dilakukan tanpa
sepengetahuan Komisi VIII DPR RI. "Sampai saat ini, belum ada pembahasan
antara Kementerian Agama dengan Komisi VIII, apalagi persetujuan," (sindonews.com,
9/1/2017)
Banyak hal yang memang harus dikaji, mulai dana
tersebut milik siapa, pengelolanya seperti apa, akad penggunaan dana ke
infrastruktur seperti apa, dan sebagainya. "Prinsipnya, penggunaan dana
haji harus sesuai prinsip syariah. Karena dana haji itu milik masyarakat, sudah
pasti harus ada akad wakalah, kalau akan digunakan untuk pembangunan
infrastruktur," kata KH Hasanuddin AF, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI) beberapa waktu lalu. Hasanuddin mengingatkan, proyek
infrastruktur yang akan didanai dengan dana haji juga jangan sembarangan. Harus
infrastruktur yang tidak menyalahi syariah. "Sampai sekarang belum ada
keputusan final di MUI terkait penggunaan dana haji untuk infrastruktur,"
katanya. Seperti halnya Hasanuddin, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Sodik Mudjahid
meminta pemerintah terlebih dulu berkonsultasi dengan DPR soal rencana
penggunaan dana awal haji untuk pembangunan infrastruktur. (inilah.com,
14/3/2017)
Kedua. Secara regulasi penggunaan dana haji untuk
infrastruktur bisa dikatakan tidak sesuai dengan peruntukannya. Menteri Agama
menegaskan bahwa, "Tidak ada, selama ini tidak ada dana haji untuk
infrastruktur, hanya ada tiga penempatan untuk itu yakni SBSN (Surat Berjangka
Syariah Negara), SUN (Surat Utang Negara), dan deposito berjangka," kata
Lukman saat ditemui di Kompleks Parlemen, DPR, Selasa (17/1/2017). Lukman
mengatakan, selama ini ada tiga kriteria yang harus dipenuhi dalam penempatan
dana haji. Pertama, penempatan tersebut harus terjamin keamanannya. Kedua,
harus memiliki nilai manfaat, dan ketiga harus memiliki likuiditas yang baik. (kompas.com,
17/1/2017)
Ketiga. Secara logika penggunaan dana haji digunakan
untuk infrastruktur akan menimbulkan banyak pertanyaan dan problem. Wakil Ketua Komite III
DPD RI Fahira Idris mempertanyaan secara sederhana saja, pantas tidak dana dari
umat yang mungkin dia dapat dari jual sawah, dari jual ternak, atau ditabung
bertahun-tahun untuk naik haji dipakai negara untuk bangun infrastruktur? Kalau
pemerintah bisa menjelaskan dengan jelas, jernih, rasional dan komprehensif
serta dapat diterima publik bahwa hal ini pantas, silakan realisasikan. Namun
jika tidak, saran saya sebaiknya dipikirkan kembali niat ini,” tegas Fahira. (ihram.com,
20/3/2017)
Dikatakan Fahira, argumen pemerintah yang meyakini bahwa
selama dana haji diinvestasikan ke proyek infrastruktur yang bagus, pasti akan
memberikan imbal hasil atau keuntungan serta tingkat return yang bagus juga
sangat debatable. Dia menyebut,
apabila pemerintah mempunyai banyak daftar proyek infrastruktur yang bagus dan
pasti memberikan keuntungan, harusnya para investor sudah berbondong-bondong
menanamkan modalnya di situ. Makanya,
menjadi pertanyaan kenapa sampai ada niat dana haji dimanfaatkan untuk
infrastruktur. Apakah ini bentuk ketidakberhasilan pemerintah menarik
investasi," ujar Fahira. (ihram.com, 20/3/2017)
Selain itu penggunaan
dana haji untuk infrastruktur sangatlah beresiko sebagaimana disampaikan Ketua
Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak. Menurut dia, penggunaan dana
haji untuk keperluan infrastruktur di Indonesia sangatlah berisiko.
"Dengan tata kelola belanja pemerintah yang penuh dengan praktik rente dan
korupsi, penggunaan dana haji untuk kepentingan imvestasi Infarstruktur sangat
berisiko tinggi," kata Dahnil. (republika.co.id, 15/32017)
Keempat. Secara faktual pelayanan oleh pemerintah kepada jamaah haji
dalam penyelenggaraan ibadah haji masih butuh peningkatan. Menurut Komisi Pengawas
Haji Indonesia (KPHI) ada sembilan aspek yang disoroti dalam penyelenggaraan
haji tahun ke tahun. Sembilan aspek itu berkaitan dengan pertama, pengawasan
organisasi, tata kerja, dan petugas. Kedua, pengawasan aspek administrasi dan
keuangan. Ketiga, pengawasan pelaksanaan bimbingan ibadah. Keempat, pelayanan
akomodasi. Kelima, pelayanan transportasi. Keenam, pelayanan konsumsi. Ketujuh,
pelayanan kesehatan. Kedelapan, pengawasan dari aspek perlindungan dan
pengamanan jamaah. Kesembilan, pengawasan terhadap penyelenggaraan haji khusus
dan umroh. (pikiran-rakyat.com, 16/6/2016)
Sehingga alangkah baiknya, jika penggunaan dana haji
diberikan sepenuhnya untuk pelaksaan, baik berupa pelayaan dan lainnya yang
berkaitan secara lansung dengan ibadah haji.
Kelima. Secara hukum Islam, apakah kebijakan tersebut
sudah sesuai dengan Syariah Islam atau tidak? Karena justru inilah yang paling
penting dan mendasar. Sebab, sesuai atau tidak sesuainya kebijakan dengan Islam
tidak hanya untuk kepentingan di dunia saja, namun juga untuk kepentingan di
akhirat.
Dan jika
diperhatikan secara mendalam menurut sudut pandang Islam setiap kebijakan yang
keluar dari negara demokrasi adalah peraturan hukum kufur. Yang disebut hukum
kufur, menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani, adalah setiap hukum yang bukan hukum
syariah Islam. (kullu hukmin ghairi syar’iyyin huwa hukmu
kufrin). (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam,
Beirut : Darul Ummah, 2004, hlm. 136).
Padahal
seorang Muslim, siapapun dia, baik rakyat atau penguasa/pemimpin, haram
hukumnya menerapkan hukum kufur, dan sebaliknya wajib menerapkan syariah Islam
saja, bukan hukum yang lain. Banyak ayat Alquran dan hadits yang menegaskan hal
tersebut.
“Dan
barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah (Syariah
Islam), maka mereka adalah orang-orang yang zalim.” (TQS Al
Maa`idah : 45).
Padahal
hukum Islam itulah hukum yang terbaik, bukan hukum buatan manusia. Hukum buatan
manusia inilah yang dalam Al Qur`an disebut dengan hukum Jahiliyyah/hukum thaghut.
Firman Allah SWT:
“Apakah
hukum Jahiliyyah yang mereka kehendaki. Dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS
Al Maaidah : 50).
Kemudian jika ditelaah lebih mendalam jika wacana tersebut
benar dilaksanakan maka bertentangan dengan Islam dalam hal peran negara. Wacana
ini sesungguhnya adalah usaha untuk menghilangkan peran dan tanggung jawab
negara dalam mengurus rakyat, termasuk dalam penyediaan insfrastruktur.
Sementara
dalam ajaran Islam, negara mempunyai peran sentral dan sekaligus bertanggung
jawab penuh dalam segala urusan rakyatnya, termasuk urusan pembangunan
infrastruktur. Hal ini didasarkan pada dalil umum yang menjelaskan peran dan
tanggung jawab seorang Imam / Khalifah (kepala negara Islam) untuk mengatur
seluruh urusan rakyatnya. Sabda Rasulullah SAW:
“Pemimpin
yang mengatur urusan manusia (Imam/Khalifah) adalah bagaikan penggembala, dan
dialah yang bertanggung jawab terhadap rakyatnya (gembalaannya).” (HR
Bukhari no 4904 & 6719; Muslim no 1827).
Terlebih
jika kebijakan ini sampai keluar dikarenakan keinginan pihak
asing atau penjajah, maka ini adalah bentuk pemaksaan yang dapat menimbulkan dominasi kaum kafir penjajah atau antek-anteknya
atas kaum Muslimin. Pada waktu yang sama pemaksaan itu dapat menghilangkan
kedaulatan kaum Muslimin untuk mengatur negeri sendiri berdasarkan hukum
syariah Islam.“Dan sekali-kali Allah tidak akan menjadikan
suatu jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman.” (QS
An Nisaa` : 141).
Keenam. Apakah
pemerintah sudah mendapatkan ijin dari pemilik dana asli, yaitu para jamaah. Ketua PP Pemuda
Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan, apabila dana haji ingin
digunakan untuk kepentingan lain (di luar keperluan haji), maka membutuhkan
akad dan izin jamaah sejak awal. "Bila jamaah sepakat dan mengizinkan,
maka harus dipastikan investasinya digunakan kepada sektor yang nol resiko
karena memang sejak awal dana itu disetorkan jamaah untuk naik haji,"
ujarnya kepada Republika.co.id, Selasa
(14/3). (republika.co.id,
15/3/2017)
Keenam. Apakah
pemerintah kekurangan dana dalam membangun infrastruktur sehingga harus
mengambil dana haji? Lalu kemana saja hasil-hasil kekayaan Sumber Daya Alam
(SDA) yang dimiliki Indoensia, padahal Rini Soemarno
(sindonews.com, 8/1/2017) pernah meminta BUMN pertambangan memanfaatkan
kekayaan alam dan hasil tambang yang ada di Indonesia hingga menjadi produk
akhir. Pasalnya, banyak negara lain iri dengan kekayaan sumber
daya alam (SDA) Indonesia?
Lalu
kemana dana-dana dari penerimaan pajak digunakan, padahal negara ini memberikan
porsi penerimaan paling besar di APBNnya adalah pajak? Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu)
melaporkan penerimaan pajak hingga 28 Februari 2017 mencapai Rp 134,6 triliun. Angka
tersebut naik 8,15 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu yang
sebesar Rp 124,4 triliun. (liputan6.com, 14/3/2017)
Dan bagaimana dengan investasi-investasi dari Arab-Saudi,
dari China dan lainnya. Padahal Presiden Joko Widodo menyepakati kerja sama
senilai Rp93 triliun lebih dengan Raja Salman dari Arab Saudi, dalam pertemuan
di Istana Bogor. (bbc.com, 1/3/2017)
Kemudian Badan Koordinasi
Penanaman Modal mencatat nilai investasi China di Indonesia
mencapai 1,6 miliar dolar AS hingga pada triwulan III-2016 dan menduduki tiga
besar investasi setelah Singapura dan Jepang. (bisnis.com, 20/12017)
Oleh karena itu sesungguhnya wacana penggunaan dana haji
untuk infrastruktur tidaklah layak untuk diwujudkan menurut banyak aspek.
Kecuali jika pemerintah bersikeras ingin menerapkannya, maka ini semakin
menujukkan kegagalan pemerintah dalam mengelola negara gemah rimpah lok
jinawi ini. Wallahu a’lam bi ash-Shawab.