Oleh: Rahmat Abu Zaki
(Analis
di Pusat Kajian Data dan Analisis-PKDA)
"Bagaikan
jamur di musim hujan”. Itu
adalah salah satu pepatah yang sangat populer diajarkan oleh Guru Bahasa
Indonesia ketika saya duduk dibangku SD. Di musim hujan biasanya banyak jamur yang
tumbuh. Oleh karenanya, tetua kita jaman dulu menyebut segala sesuatu yang tadinya tidak terlalu
banyak ada yang lalu tiba-tiba muncul banyak,
sebagai ‘bagaikan jamur di musim
hujan’.
Maraknya
berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara, baik pejabat
tingkat bawah hingga pejabat tingkat tinggi menggambarkan betapa korupsi telah
menjadi “jamur di musim hujan”. Sudah
berapa banyak pejabat kita yang masuk “hotel prodeo”, namun tidak membuat jera
para pelaku dan calon-calon koruptor lainnya. Korupsi di Indonesia sudah
menggurita di mana-mana.
Henry
Kissinger, menteri luar negeri Amerika Serikat (AS) 1973-1977 yang legendaries
itu, pernah berujar,” Corrupt politicians
make the other 10 percent look bad ( Para politikus korup membuat 10 persen
lainnya tampak buruk),”. Tentu saja, ilmuwan politik Universitas Harvard
yang kemudian bergabung dengan pemerintah AS di era Presiden Richard Nixon itu
hendak menyindir perilaku korup para politikus. Sindiran tersebut begitu
provokatif dan makjleb.
Komposisi 10 persen politisi bersih
dan 90 persen politisi korup itu saja sungguh keterlaluan. Tapi, percaya atau
tidak, sepertinya ada komposisi yang lebih parah. Mari kita lihat kasus dugaan
korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Berdasar surat dakwaan untuk
tersangka mantan pejabat Kemendagri Irman dan Sugiharto, KPK sudah menyebut
aliran uang suap kepada 14 nama ketua dan anggota Komisi II DPR 2009-2014.
Besarannya antara puluhan ribu hingga 1 juta dolar AS. Selain itu, KPK
menemukan dugaan suap mengalir kepada 37 anggota DPR lainnya yang menerima 13
ribu-18 ribu dolar AS.(Jawa Pos, Senin 20
Maret 2017).
KPK sampai saat ini belum mengungkap
siapa saja nama-nama elite politik yang masuk berkas dakwaan sebanyak 24 ribu
lembar itu. Komisi antirasuah tersebut tetap kukuh meminta public menunggu sidang
dakwaan untuk mengetahui tokoh besar yang terlibat sebagaimana yang diungkapkan
Ketua KPK Agus Rahardjo beberapa waktu lalu.
Dugaan korupsi besar proyek pengadaan
e-KTP senilai 6 triliun berembus sejak 2014. Namun, sampai saat ini baru dua
tersangka yang ditetapkan. Keduanya adalah mantan Dirjen Kependudukan dan
Catatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan mantan
Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil
Kemendagri Sugiharto.
Selama penyidikan, KPK telah memeriksa
ratusan saksi. Antara lain anggota Komisi II DPR periode 2009-2014. Mereka
diduga turut mengorganisasi korupsi kelas kakap tersebut. Keterlibatan anggota
legislatife semakin terkuak seiring dengan adanya aliran uang Rp 250 miliar
yang dikembalikan ke rekening KPK. Sebanyak Rp 30 miliar di antaranya berasala
dari anggota dewan. Selebihnya dari konsorsium perusahaan. (Jawa Pos, Selasa 7 Maret 2017)
Integritas KPK sebagai garda terakhir
pemberantasan korupsi bakal dipertaruhkan dalam menangani kasus korupsi kartu
tanda penduduk (e-KTP). Sebab, lembaga antirasuah itu dikatakan sudah menyebut
aliran dana haram megaproyek itu dalam dakwaan Irman dan Sugiharto. Kini
tinggal apakah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berani memproses para
penerima rasuah tersebut sebagai tersangka. Meski banyak di antara mereka yang
pejabat tinggi.
Mantan penasehat KPK Abdullah
Hehamahua mengingatkan KPK agar memproses semua pihak yang terlibat dalam
perkara e-KTP.”KPK dan pengadilan harus dikawal untuk menegakkan adagium dalam
dunia hokum, yakni biar langit runtuh, hokum harus ditegakkan,” tegas pria asal
Maluku itu.
Menurut Abdullah, semua pihak yang disebut
dalam dakwaan menikmati aliran dana e-KTP harus diproses hukum. Sekalipun
mereka telah mengembalikan uang yang diterima. “Sebab, hal tersebut sudah jelas diatur dalam Undang-Undang (UU)
Tipikor,” ujarnya. (Jawa Pos, Rabu 8 Maret 2017).
PEMERINTAH YANG BERSIH
DAN BAIK
Pemerintahan yang bersih dan baik
(clean and good government) adalah idaman. Istilah yang semakin populer dalam
dua dekade ini, semakin menjadi tuntutan, dalam kondisi ketika korupsi, kolusi,
nepotisme, dan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) lainnya begitu
menggejala di berbagai belahan dunia. Kekecewaan terhadap performance
pemerintahan di berbagai negara, baik di negara dunia ketiga maupun di negara
maju, telah mendorong berkembangnya tuntutan akan kehadiran pemerintahan yang baik
dan bersih.
Pemerintahan yang bersih umumnya
berlangsung di negara yang masyarakatnya menghormati hukum. Pemerintahan yang
seperti ini juga disebut sebagai pemerintahan yang baik (good governance).
Pemerintahan yang baik itu hanya bisa dibangun melalui pemerintahan yang bersih
(clean government) dengan aparatur birokrasinya yang terbebas dari KKN. Dalam
rangka mewujudkan clean government, pemerintah harus memiliki moral dan
proaktif mewujudkan partisipasi, serta check and balances. Tidak mungkin mengharapkan
pemerintah sebagai suatu komponen dari proses politik memenuhi prinsip clean
government dalam ketiadaan partisipasi.
SOLUSI ISLAM DALAM
MENGATASI KEBOBROKAN BIROKRASI
Pemerintahan yang bersih dan baik,
dengan kata lain, birokrasi yang bersih dan baik, haruslah dibangun secara
sistematis dan terus-menerus. Pola pikir yang dikotomis, yang menghadapkan
upaya membangun pribadi yang baik dengan upaya membangun sistem yang baik,
ibarat memilih telur atau ayam yang harus didahulukan. Pola pikir yang demikian
ini tidaklah tepat, karena memang tidak bisa memisahkan antara kedua sisi ini.
Individu yang baik tidak mungkin muncul dari sebuah sistem yang buruk, demikian
pula sistem yang baik, tidak akan berarti banyak bila dijalankan oleh
orang-orang yang korup. Yang harus dilakukan adalah membina masyarakat secara
terus-menerus agar menjadi individu yang baik, yang menyadari bahwa
pemerintahan yang baik hanya dapat dibangun oleh orang yang baik dan sistem
yang baik. Masyarakat juga terus-menerus disadarkan, bahwa hanya sistem
terbaiklah, yang bisa memberi harapan bagi mereka, menjamin keadilan, serta
melayani dengan keikhlasan dan melindungi rakyatnya. Rakyat juga harus
disadarkan, bahwa para pemimpin haruslah orang yang baik, jujur, amanah,
cerdas, profesional, serta pembela kebenaran dan keadilan. Masyarakat juga
perlu didasarkan bahwa sistem yang baik dan pemimpin yang baik tidak bisa
dibiarkan menjalankan pemerintahan sendiri, mereka harus terus dijaga,
dinasihati, dan diingatkan dengan cara yang baik.
KESEMPURNAAN SISTEM
Kesempurnaan sistem Islam terlihat
dari aturan yang jelas tentang penggajian, larangan suap-menyuap, kewajiban
menghitung dan melaporkan kekayaan, kewajiban pemimpin untuk menjadi teladan,
serta sistem hukum yang sempurna. Sistem penggajian yang layak adalah
keharusan. Para pejabat adalah pengemban amanah yang berkewajiban melaksanakan
amanah yang diberikan kepadanya.
Untuk menjamin profesionalitas aparat
negara, maka mereka sesudah diberi penghasilan yang cukup, sekaligus dilarang
untuk mengambil kekayaan negara yang lain. Guna mencegah terjadinya abuse of
power, Khalifah Umar bin Khattab misalnya, melarang para pejabat berdagang.
Umar memerintahkan kepada semua pejabat agar berkonsentrasi penuh pada
pekerjaannya, dan sekaligus menjamin seluruh kebutuhan hidup aparat negara dan
keluarganya.
Sistem Islam juga melarang aparat
negara menerima suap dan hadiah/hibah. Suap adalah harta yang diberikan kepada
seorang penguasa, hakim, atau aparat pemerintah lainnya dengan maksud untuk
memperoleh keputusan mengenai suatu kepentingan yang semestinya wajib
diputuskan olehnya tanpa pembayaran dalam bentuk apa pun. Setiap bentuk suap,
berapa pun nilainya dan dengan jalan apa pun diberikannya atau menerimanya,
haram hukumnya. Allah Swt. berfirman:
“Janganlah ada sebagian
kalian makan harta benda sebagian yang lain dengan jalan batil, dan janganlah
menggunakannya sebagai umpan (untuk menyuap) para hakim dengan maksud agar
kalian dapat makan harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kalian
mengetahui (hal itu)” (QS al-Baqarah [2]: 188).
KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA
Sistem Islam menanamkan iman kepada
seluruh warga negara, terutama para pejabat negara. Dengan iman, setiap pegawai
merasa wajib untuk taat pada aturan Allah Swt. Orang beriman sadar akan
konsekuensi dari ketaatan atau pelanggaran yang dilakukannya karena tidak ada
satu pun perbuatan manusia yang tidak akan dihisab. Segenap anggota atau bagian
tubuh akan bersaksi atas segala perbuatan yang telah dilakukan. Allah Swt.
berfirman:
“Sehingga
apabila mereka sampai ke neraka, pedengaran, penglihatan, dan kulit mereka
menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan” (QS
Fushshilat [41]: 20).
SISTEM KONTROL YANG KUAT
Kontrol merupakan satu instrumen
penting yang harus ada dalam membangun pemerintahan yang bersih dan baik.
Kontrol bukan saja dilakukan secara internal, oleh pemimpin kepada bawahannya,
melainkan juga oleh rakyat kepada aparat negaranya. Kesadaran dan pemahaman
akan pentingnya kontrol ini, haruslah dimiliki oleh segenap pemimpin
pemerintahan, para aparat di bawahnya, dan oleh segenap rakyat. Semua orang
harus menyadari bahwa keinginan untuk membangun pemerintahan yang baik hanya
dapat dicapai dengan bersama-sama melakukan fungsi kontrolnya. Dalam sejarah
kepemimpinan pemerintahan Islam, tercatat, bagaimana Khalifah Umar bin Kattab
telah mengambil inisiatif dan sekaligus mendorong rakyatnya untuk melakukan
kewajibannya mengontrol pemerintah. Khalifah Umar di awal kepemimpinannya
berkata, “Apabila kalian melihatku
menyimpang dari jalan Islam, maka luruskanlah aku walaupun dengan pedang”.
Lalu, seorang laki-laki menyambut dengan lantang, “Kalau begitu, demi Allah,
aku akan meluruskanmu dengan pedang ini.” Melihat itu Umar bergembira,
bukan menangkap atau menuduhnya menghina kepala negara.
PENUTUP
Membangun pemerintahan yang bersih
dan baik bukanlah pekerjaan yang mudah. Hal itu akan menggerakkan segenap aspek
kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan. Juga membutuhkan dukungan dari segenap
aparat pemerintahan, masyarakat, dan sistem yang baik. Hanya dengan pemilihan
akan sistem yang terbaiklah, maka upaya membangun pemerintahan yang baik itu akan
menemukan jalan yang jelas.
Membangun pemerintahan yang baik
bukanlah pekerjaan yang mudah. Itu merupakan pekerjaan besar yang harus diawali
dari pemahaman dasar atas visi dan misi pemerintahan. Oleh karena itu, pilihan
utama atas ideologi apa yang akan dijadikan landasan pembangunan pemerintahan,
akan menentukan terbuka atau tidaknya harapan, bagi upaya penciptaan
pemerintahan yang baik itu. Pemerintahan yang baik hanya bisa dicapai, bila
ideologi yang menjadi pilihan adalah ideologi yang paling benar. Di atas
ideologi yang paling benar itulah, akan dibangun sistem yang baik dan individu-individu
yang tangguh. .” (Drs. Sepriyanto 2002. Syariat Islam Dalam mewujudkan
Good Governance Dan Clean Government.Bunga
Rampai Syariat Islam. Penerbit Hizbut Tahrir Indonesia)
Sistem Islam (syariat Islam) telah
menunjukkan kemampuannya yang luar biasa. Kemampuannya bertahan hidup dalam
rentang waktu yang demikian panjang (lebih 12 abad), dengan berbagai macam
penyimpangan dan pengkhianatan oleh para penyelenggaranya, telah menegaskan
kapabilitas sistem yang belum ada tandingannya sampai saat ini, bahkan hingga
akhir zaman. Dengan demikian, jawaban atas kebutuhan akan hadirnya pemerintahan
yang baik itu adalah dengan menjadikan Islam sebagai ideologi, serta syariat
Islam sebagai aturan kehidupan pemerintahan dan kemasyarakatan. Dengan syariat
Islam itulah, kita membangun pemerintahan yang bersih dan baik, sekaligus
mencetak aparat pemerintahan yang andal.
Wallahu’alam
bi ash-shawwab
Catatan Kaki :
1) Jawa Pos, Senin
20 Maret 2017
2) Jawa Pos, Rabu 8
Maret 2017
3) Jawa Pos, Selasa
7 Maret 2017
4) Drs. Sepriyanto
2002. Syariat Islam Dalam mewujudkan Good Governance Dan Clean Government.Bunga
Rampai Syariat Islam.Penerbit Hizbut Tahrir Indonesia