BUAH SIMALAKAMA
POLITIK INDONESIA
Oleh AB Latif (Direktur indopolitik
watch)
Pasca Pilkada Jakarta putaran ke 2
yang di laksanakan rabu, 19 April 2017 menyisakan suhu panas perpolitikan di
Indonesia. Pasangan calon yang sangat tenar yaitu Ahok-Jarot, begitu
digadang-gadang pemerintah dengan dukungan para pemodal yang cukup kondang,
dengan taruhan biaya triliyunan rupiah ternyata harus menerima kekalahan.
Mereka para pendukung Ahok, baik dari rezim atau dari para pemodal asing dan
aseng begitu kecewa yang luar biasa. Buah dari kekecewaan mereka inilah muncul
berbagai kebijakan-kebijakan yang menyasar musuh-musuh politik mereka. Politik balas
dendam pun tak
terelakan.
Banyak
fakta dari kebijakan yang diduga buah dari kekalahan Ahok-Jarot, diantaranya
adalah wacana pembubaran HTI yang disampaikan
melalui Menkopolhukan pada tanggal 8 Mei 2017 (kompas.com, 9 mei 2017). Kebijakan ini ternyata mendapat
pertentangan dari berbagai elemen masyarakat. Akibatnya pemerintahpun kian
melemah. Muncullah plan selanjutnya yaitu meledaklah bom di Kampung Melayu,
Jakarta Timur pada hari rabu malam tanggal 24 mei 2017 yang telah menewaskan 3
orang anggota kepolisian yang sedang menjaga pawai obor (kompas.com, 25 mei
2017). Karena membubarkan HTI dan Orma-ormas islam yang senantiasa memberikan
kritik kepemerintah dianggap sulit, maka harus ada instrument hukum yang
memayungi. Dengan bom kampung melayu ini diharapkan dapat merevisi
undang-undang ormas dan undang-undang terorisme yang akan dipakai sebagai dasar
hukum pembubaran ormas islam.
Selain ormas islam, individu pun tak
luput dari sasaran dendam politik. Banyak ulama’-ulama’ yang mukhlis dan kritis
menjadi sasaran politik balas demdam ini. KH. M. Al Khothot sebagai korban
pertama atas kekalahan Ahok-Jarot. Disusul dosen Universitas Muhammadiyah
Prof Dr Hamka (UHAMKA), Alfian Tanjung
pun terkriminalisasikan. Akibatnya kini ia ditetapkan menjadi tersangka kasus
dugaan fitnah dan pencemaran nama baik (tribun-medan.com, 30 mei 2017). Dan
kini Bapak Pendiri Partai Amanat Nasional (PAN), Bapak Prof. Dr. Amin Rais juga
tak luput untuk dikriminalisasikan. Amin Rais diduga telah menerima aliran dana
sebesar Rp. 600 juta yang berasal dari korupsi pengadaan alat kesehatan
kementrian kesehatan tahun 2017 (tribunsolo.com, 3 juni 2017).
Imam
besar umat islam Habib Rizieq pun kini telah ditetapkan penyidik Polda Metro
Jaya sebagai tersangka dalam kasus dugaan pornografi disitus
“baladacintarizieq” (detiknews.com, 29 mei 2017). Ini tidak menutup kemungkinan muncul
nama-nama baru untuk dikriminalisasikan. Semua kasus diatas diskenario untuk
membunuh karakter para pemikir dan ulama’ serta para tokoh umat. Tujuannya
sangat jelas yaitu memisahkan umat dari tokoh dan ulama’ agar kepentingan para
politikus kapitalis dan para pemodal bisa berjalan dengan lancar tanpa
halangan. Pemisahan umat dan ulama’ ini yang menjadi target mereka. Karena yang
diduga kuat penggerak aksi bela islam 212 dan seterusnya adalah para ulama’.
Ust. Bakhtiar Nasir pun kini sudah dilarang ceramah dikampus-kampus, begitu
juga ust. Ismail Yusanto Jubir HTI. Penangkapan Admin Muslim Cyber pun
dilakukan dan pemeriksaan pengurus Masjid Mujahidin Surabaya yang ditengarai
profokatif.
Bara Siap
Mendidih
Dengan peristiwa ini, maka suhu
perpolitikan di Indonesia akan semakin memanas. Dikarenakan tingkat kepercayaan
umat pada rezim ini akan semakin melemah. Sementara kebencian umat akan semakin
meningkat. Apalagi ditambah dengan berbagai kebijakan yang tidak popular, yaitu
rencana kenaikan Tarif Dasar listrik (TDL) dan Bahan Bakar Minyak (BBM) bulan
depan. Naiknya pungutan pajak dari berbagai sektor. Serta keberpihakan rezim kepada
pada kapitalis asing dan aseng.
Rakyat
menjadi korban kebijakan dan menambah sakit hati. Alhasil suara pendukung rezim saat pilpres
2019 dapat dipastikan menurun. Ide pencitraan yang dulu booming tidak
akan laku lagi. Sementara sentiman umat semakin tinggi yang dapat menyebabkan
adanya aksi-aksi. Dari aksi-aksi inilah yang akan memperpanas suhu perpolitikan
bangsa Indonesia. Lihatlah umat yang semakin bangkit dan terkoordinasi.
Persatuan umat islam mulai meningkat. Mereka sudah tidak bisa dikotak-kotak
dengan organisasi. Mereka mulai sepakat dengan satu kata. Fakta ini bisa kita
lihat bagaimana ketika pengurus masjid mujahidin diperiksa pihak berwenang.
Juga bisa kita lihat reaksi umat saat menenggapi penista agama. Dan juga bisa
kita lihat saat adanya rencana pemerintah untuk membubarkan oramas
dan kriminalisasi tokoh umat.
Umat islam sudah siap menjadi garda terdepan untuk menegakkan keadilan. Mereka
mulai tersadarkan tentang pentingnya persatuan.
Suhu
panas politik ini tidak akan berakhir jika pemerintah masih bertindak tidak
adil dan sewenang-wenang terhadap rakyatnya, khususnya umat islam. Ketidak-adilan inilah pemicu utama suhu panas
politik di Indonesia. Akankah hal ini tetap berlanjut? Simak di edisi
berikut!