OLEH RAHMAT ABU
ZAKI
(Analis di
Pusat Kajian Data dan Analisis-PKDA)
Kamis (6/4) malam waktu AS,
atau Jumat (7/4/) dini hari, Amerika Serikat melesakkan serangan ke Pangkalan
Udara Shayrat, milik pemerintah Suriah. Serangan ini dilancarkan tak lama
setelah Bashar Assad menumpahkan gas beracun yang menewaskan ratusan orang di
wilayah Idlib. Tentu, sebagian orang terperangah dengan tindakan yang dilakukan
Trump. Aksi ini pun digadang-digadang sebagai bentuk dukungan Donald Trump
terhadap masyarakat Suriah. Betulkah?
Menariknya, jika alasan Donald Trump melancarkan
serangan demi menghentikan teror kimia, tentu seorang presiden yang memiliki
konsultan militer tidak akan melancarkan serangannya ke sebuah hanggar kosong,
dan membiarkan landasan udaranya tetap mulus. Dan, pada kenyataannya serangan
itu sama sekali tidak berefek pada redanya agresi Bashar. Bahkan, belakangan
diketahui, AS turut memberitahu Rusia sebelum melancarkan serangan. Karena itu,
dokter medis yang bertugas di Idlib, dr. Shajul Islam, menegaskan bahwa
serangan AS tidak membawa perubahan apapun bagi kondisi kemanusiaan di Suriah.
"Pemboman
berat sekarang terjadi di atas kota Idlib. Serangan udara di AS tidak membawa
perubahan apapun. Pembunuhan Sipil berlanjut seperti biasa," demikian cuit dr. Shajul.
Sejatinya, menyandarkan aspirasi kemanusiaan kepada
Amerika, Rusia, maupun Bashar Assad adalah utopia. Sebab merekalah yang saat
ini terlibat dalam pelanggaran HAM berat di Suriah. Jika hari ini Amerika
melontarkan rudal ke rezim Suriah, hal itu tidak lebih kepada tendensi politik
dengan memanfaatkan situasi kemanusiaan di wilayah Khan Seikhun. Maklum saja,
serangan gas kimia rezim Bashar ke wilayah Idlib semakin membuka kesadaran
dunia mengenai nasib warga dan anak-anak Suriah. Dunia berontak, masyarakat
dunia pun turun ke jalan-jalan melakukan demonstrasi, termasuk di Indonesia.
Maka, kita dapat membaca bahwa aksi Trump tidak lain
bagian dari upaya menaikkan citra di mata dunia. Sebab kita mengetahui sejauh
mana komitmen Trump terhadap isu kemanusiaan di Suriah. Pertanyaannya, haruskah
kita percaya terhadap seorang presiden yang sebelumnya justru menutup pintu
bagi pengungsi dan anak-anak Suriah di Amerika? (https://news.detik.com/kolom/d-3469878/serangan-amerika-ke-suriah-bermotif-kemanusiaan-atau-politik)
ARAH POLITIK
LUAR NEGERI AS
AS adalah sebuah negara ideologis. Negara ini dibangun
atas dasar ideologi kapitalisme. Politik luar negeri AS tidak bisa dilepaskan
dari basis ideologi kapitalisme ini. Secara mendasar dan global, syaikh
Taqiyuddin an-Nabhani dalam Mafahim Siyasi li Hizb at-Tahrir (konsep-konsep
politik Hizbut Tahrir), menyebutkan bahwa inti politik luar negeri
negara-negara kapitalis adalah penjajahan/imperialisme. Negara-negara kapitalis
seperti AS, menurutnya, akan selalu menyebarluaskan ideologi kapitalisme ke
seluruh dunia dengan metode yang tetap, yaitu penjajahan. Penjajahan ini
dilakukan dengan berbagai bentuknya; meliputi politik, ekonomi, militer,
budaya, dan yang lainnya. Ini pula yang menjadi grand strategi politik luar negeri
AS yang tidak pernah berubah. Yang mengalami perubahan adalah aplikasi dari
grand strategi itu pada level menengah atau bawah.
Dalam format politik internasional AS, dua pilar paling
penting mengemuka yang dijadikan kebijakan pokok negara adidaya itu adalah
demokratisasi (termasuk HAM) dan liberalisme ekonomi dunia. Dalam hal ini,
perlu diperhatikan pernyataan seorang penasihat mantan presiden AS, Bill
Clinton, untuk keamanan nasional. Dalam pidatonya, tanggal 21 September 1993,
ia mengatakan, “kita harus menyebarkan demokrasi dan ekonomi pasar bebas, karena
hal ini akan dapat menjaga kepentingan-kepentingan kita, memelihara kita,
sekaligus menunjukkan nilai-nilai anutan kita, yaitu nilai-nilai Amerika yang
luhur.”
Dua pilar utama tatanan dunia yang ditawarkan AS ini
jelas merupakan inti dari ideologi kapitalisme yang memang sudah sejak lama
diemban dan disebarluaskan oleh AS. Tegaknya dua pilar ini akan menguntungkan
kepentingan mereka, tidak aneh jika AS demikian bersemangat menjajakan kedua
perkara tersebut. Dengan kata lain, AS saat ini hendak menjadikan kapitalisme
sebagai “agama baru” di seluruh
dunia.
KHATIMAH
Konflik internasional sejak awal sejarah hingga Hari
Kiamat nanti tidak keluar dari dua motif berikut : Pertama, cinta kepemimpinan dan kebanggaan. Kedua, dorongan dibalik manfaat-manfaat material.
Cinta kepemimpinan (hubb al siyadah) bisa berupa cinta kepemimpinan terhadap
umat dan bangsa seperti halnya Nazisme Jerman dan Fasisme Italia. Bisa jadi
berupa cinta kepemimpinan terhadap ideologi dan penyebaran ideologi sebagaimana
halnya negara komunis selama 30 tahun sebelum keruntuhannya pada awal tahun
90-an yang lalu, setelah 70 tahun sejak kelahirannya.
Adapun motif untuk membatasi pertumbuhan kekuatan negara
lain, seperti halnya yang terjadi pada berbagai negara melawan Napoleon, Daulah
Islam, atau Nazi Jerman, termasuk dalam motif cinta kepemimpinan, sebab hal itu
akan mencegah kepemimpinan pihak lain.
Dengan hancurnya Daulah Islam dan Uni Soviet, motif yang
mendominasi dunia secara keseluruhan adalah nafsu dibalik keuntungan-keuntungan
material. Hal ini akan terus demikian hingga kembalinya Daulah Islam sebagai
negara adidaya yang akan mempengaruhi persaingan internasional dan pada saat
yang sama akan mengembalikan motif cinta kepemimpinan dan penyebaran ideologi.
Motif paling berbahaya dalam persaingan internasional
adalah motif penjajahan (imperialisme) dengan segala bentuknya. Sebab,
penjajahan itulah yang menyebabkan meletusnya perang-perang kecil dan juga dua
perang dunia. Motif penjajahan pula yang menyebabkan perang-perang di Teluk, Afrika,
Afghanistan, Irak termasuk di Syiria. Motif itu pula yang tak henti-hentinya
menyebabkan berbagai keresahan dan krisis dunia.
Persaingan, perselisihan, dan konflik yang ada saat ini,
antara AS, Inggris, Perancis, Rusia, baik yang terang-terangan maupun yang
tersembunyi seputar masalah Irak, Afghanistan, Timur Tengah dan masalah-masalah
internasional lainnya, tak lain karena penjajahan dan karena dominasi dengan
motif meraih manfaat material dan sumber-sumber daya alam. Jadi, sesungguhnya
penjajahan itulah yang mendominasi persaingan internasional dewasa ini,
termasuk segala hal yang dikandungnya seperti konflik untuk memperebutkan
sumber-sumber daya alam, pengaruh, dan persaingan untuk menguasai pihak lain
dalam segala bentuk dan jenisnya.
Pada hakikatnya, nafsu untuk meraih manfaat-manfaat
material, khususnya kerakusan untuk menjajah, adalah faktor yang melahirkan
persaingan internasional diantara negara-negara adidaya. Hal itu pula yang
secara nyata mengobarkan berbagai perang lokal dan perang dunia. Untuk
menghindarkan diri dari perang-perang ini, dibuat-buatlah apa yang dinamakan
perdamaian dan keselamatan dunia serta dalih menjaga keamanan dan perdamaian.
(Bersambung seri V)
Catatan Kaki :
Farid Wadjdi 2010.
Menantang Amerika menyingkap imperalisme Amerika di bawah Obama. Penerbit Al
Azhar Press
Taqiyuddin
an-Nabhani 2005. Konsepsi Politik Hizbut Tahrir (edisi Mu’tamadah). HTI Press