Oleh: R. Andhika
Putra Dwijayanto, ST
Seruan “NKRI Harga
Mati” sebenarnya bukan hal baru. Dari zaman saya masih SMA pun, slogan-slogan
sejenis ini sudah bertebaran di mana-mana. Namun, sejak beberapa waktu
belakangan, slogan ini makin keras disuarakan oleh kelompok ultra-nasionalis
pseudo-Islamis. Utamanya ditujukan pada gerakan yang memperjuangkan tegaknya
kembali Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, yakni Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Seperti yang
sudah-sudah, tidak ada yang baru dari slogan ini: menuduh HTI memecah belah,
makar, menuduh Khilafah tidak cocok di Indonesia, sampai seorang ahli hukum
Monash University berinisial NH menganggap bahwa Khilafah adalah sebuah
kekhilafan. Pernyataan yang berani, seberani al-A’sham yang mu’tazilah itu.
Al-A’sham saja tidak separah NH. Ujung-ujungnya, tetap saja, menolak ideologi
Islam dan sistem Khilafah. Inginnya mempertahankan status quo bernama “NKRI
Harga Mati”.
Sejak masa kuliah,
saya sudah tertarik dengan persoalan energi dan iklim, walau baru benar-benar
menaruh perhatian setelah lulus. Saya memerhatikan bahwa negeri ini berada
dalam kondisi yang menyedihkan, baik soal ketahanan energi maupun apa yang
dilakukannya terhadap iklim. Sejatinya keprihatinan ini juga didengungkan oleh
kalangan akademisi di Fakultas Teknik UGM secara khusus, tapi ujung-ujungnya
tetap mbulet. Utamanya tentang iklim.
Kenapa persoalan
iklim perlu mendapat perhatian khusus? Begini. Kita hidup di bumi yang sama. Di
bawah satu atmosfer yang sama. Menghirup udara dari lapisan udara yang sama.
Menikmati suhu yang cocok untuk kehidupan sebagai efek atmosfer yang sama.
Sehingga, jika ada masalah pada atmosfer, yang kena bukan cuma satu-dua tempat,
tapi seluruh dunia. Yang saya maksud
dengan efek yang menimpa seluruh dunia adalah pemanasan global dan perubahan
iklim.
Sederhananaya,
pemanasan global bisa diartikan sebagai proses kenaikan suhu rerata permukaan
bumi, baik itu daratan, lautan maupun atmosfer. Tren kenaikan suhu ini diamati
dalam seratus tahun terakhir, dan ditemukan bahwa rerata kenaikannya mencapai ±
0,86o C. Terdengar kecil dalam skala suhu biasa, tapi besar dalam skala iklim.
Pemanasan global ini bersifat antropogenik, artinya manusia lah yang
menyebabkannya.
Dampak ikutan yang
tidak bisa terlepas dari pemanasan global adalah perubahan iklim. Perubahan
suhu bumi akan mengubah kondisi iklim di berbagai belahan bumi, menyebabkan
cuaca ekstrem terjadi lebih sering, mengganggu produksi pangan, penyebaran
penyakit baru, tenggelamnya wilayah-wilayah pantai dan lain sebagainya. Kalau
merasa cuaca di tahun-tahun belakangan makin tidak menentu, lalu suhu terasa
makin panas, selamat! Dampak pemanasan global dan perubahan iklim sudah sampai
pada kita.
Karena alasan ini,
masalah pemanasan global dan perubahan iklim harusnya menjadi sorotan krusial.
Waktu kita tidak banyak. Jangan melakukan apa-apa, dan siap-siap saja bencana
iklim menghantam kita paling lambat akhir abad ini.
Nah, kembali lagi ke
slogan “NKRI Harga Mati”. Saya katakan bahwa “NKRI Harga Mati” tidak
bisa dan tidak akan pernah bisa mengatasi persoalan iklim. Tidak bisa
dan tidak akan bisa mengatasi pemanasan global dan perubahan iklim.
Kenapa?
Untuk memahami
alasannya, mesti diperhatikan dulu seperti apa “NKRI Harga Mati” yang
didengungkan itu. Kalau yang saya amati dari seruan-seruan tidak intelek dari
kaum ultra-nasionalis pseudo-Islamis penyeru slogan tersebut, kira-kira berikut
daftar fakta yang mereka maksud sebagai “NKRI Harga Mati”.
- Ideologi :
Kapitalisme
- Ekonomi :
Neoliberalisme
- Bentuk pemerintahan
: Republik presidensil
- Sistem pemerintahan
: Demokrasi (pancasila?)
Kira-kira
rangkumannya seperti itu. Nah, saya katakan bahwa fakta-fakta seperti ini, yang
diklaim sebagai “Harga Mati”, tidak akan pernah bisa mengatasi pemanasan global
maupun perubahan iklim. Kembali ke pertanyaan awal, kenapa?
Pertama adalah
paradigma dasarnya, yaitu ideologi kapitalisme. Ideologi ini menekankan pada
kekuatan pemilik modal. Siapa yang punya modal kuat, dia yang menang. Sederhananya
begitu. Kapitalisme digerakkan kuat oleh prinsip-prinsip yang melindungi
kebebasan individu. Kapitalisme tidak memedulikan distribusi kekayaan, tapi
semata-mata penumpukan kekayaan. Kalau mengutip istilah dari gerakan Occupy
Wall Street beberapa
tahun lalu, kapitalisme adalah “ideologi 1%”. Artinya, seluruh tatanan
kehidupan didesain untuk kepentingan golongan 1% itu saja. Potongan besar kue
ekonomi mereka semua yang lahap. Yang 99% sisanya? Cuma dapat remah-remah.
“NKRI Harga Mati”
juga menganut ideologi ini. Klaimnya saja “pancasila sebagai ideologi negara”,
tapi nyatanya pancasila tidak bisa melakukan apa-apa dan tidak pernah ada
realisasinya. Yang berlaku adalah ideologi kapitalisme, itu fakta yang tidak
bisa dibantah lagi.
Pertanyaannya, kenapa
paradigma kapitalisme tidak bisa mengatasi pemanasan global? Karena justru
kapitalisme lah penyebab utama dari pemanasan global! Suatu paradigma yang
merupakan masalah tidak bisa bertindak sekaligus sebagai solusi.
Apa buktinya
kapitalisme adalah akar masalah? Prinsip dari kapitalisme itu prinsip
kelangkaan: sumber daya terbatas sementara kebutuhan manusia tidak terbatas.
Untuk memenuhi keinginan inilah, karenanya, pertumbuhan ekonomi digenjot dengan
memproduksi barang-barang terus menerus. Produksi barang itu butuh energi, dan
kapitalisme meniscayakan bahwa energi yang dicari itu adalah yang dianggap paling murah.
Akhirnya jatuhlah pilihan itu pada energi fosil, yakni batubara, gas alam dan
minyak bumi. Padahal, energi fosil-lah biang kerok utama pemanasan global. 80%
emisi gas rumah kaca antropogenik disumbangkan oleh energi fosil ini.
Sementara, opsi
energi lainnya dianggap tidak mampu bersaing
secara biaya. Karenanya, energi nuklir dan “energi terbarukan” yang dianggap lebih mahal pun
diabaikan, meski sangat bersih dan tidak menyebabkan pemanasan global. Mana mau
mereka memilih moda energi yang dianggapnya lebih mahal? Mengurangi
produktivitas ekonomi saja.
Kedua, ekonomi
neoliberalisme. Intinya adalah pasar bebas. Rakyat dibiarkan mengurusi diri
sendiri dalam kompetisi hutan rimba, negara cuma jadi regulator. Jadi semua
BUMN harusnya diprivatisasi, dijual ke pihak swasta. Di sektor kelistrikan,
neoliberalisme Indonesia belum sampai liberalisasi sektor hilir. Tapi sektor
hulu, yakni pembangkitan listrik, sudah diliberalisasi dengan dilibatkannya
pihak swasta dalam pembangkitan listrik. Selayaknya para pengusaha lain,
pembangkit listrik swasta atau Independent Power
Producer (IPP)
menginginkan untung. Akhirnya, apa yang dianggapnya murah dan lebih menguntungkan?
Jelas energi fosil. Modal awalnya murah, bahan bakar bisa sambil jalan. Mereka
bisa jual listrik ke PLN dengan margin untung yang lumayan, dengan kompensasi
berupa makin rusaknya iklim.
Program listrik
35.000 MW rezim Jokowi melibatkan swasta pada lebih dari setengah kapasitas
daya. Tahun 2014 saja, dari 53 GW kapasitas daya yang terpasang, hanya 37 GW
yang dimiliki oleh PLN. Sisanya swasta. Dan mayoritas pembangkit ini
menggunakan batubara. Sementara batubara
di Indonesia adalah tipe lignite, yang merupakan tipe
batubara paling kotor dan boros dari semua jenis batubara. Makin merusak
atmosfer saja.
Ketiga, politik
transaksional dalam demokrasi. Tidak usah pura-pura tidak paham, undang-undang
dan keputusan politik negeri ini, kan, tergantung yang pesan. Kebijakan energi
yang lebih fokus pada batubara dan gas alam serta mengabaikan energi bersih
seperti nuklir disebabkan juga oleh politik transaksional. Sudah jadi rahasia
umum bahawa penguasa negeri ini bisa naik ke kursi jabatan karena sokongan
pemilik modal. Termasuk dari pengusaha batubara dan gas alam. Wajar kalau
akhirnya kebijakan energinya jadi pro-energi fosil. Kebijakan ada untuk
menguntungkan pengusaha.
Hal ini wajar.
Demokrasi itu mahal. Untuk bisa terpilih menjadi penguasa, butuh modal tinggi
sekali, sampai puluhan bahkan ratusan milyar rupiah. Yang bisa memodali jelas
pengusaha. Pertanyaannya, mungkinkah pengusaha era kapitalisme memberi modal
cuma-cuma? Sampai matahari meledak dalam supernova pun tidak mungkin. Pasti
mereka menuntut kompensasi yang menguntungkan, salah satunya melalui
perancangan undang-undang.
Politik transaksional
dan demokrasi itu sudah tidak bisa dipisahkan. Pertimbangan dalam demokrasi
adalah jumlah kepala, bukan kualitas kepala. Tinggal sogok lebih banyak kepala,
dan voila! Jadilah kebijakan pro-pengusaha
energi fosil.
Keempat, tidak ada
visi besar yang peduli iklim. Outlook BPPT edisi 2016
mengungkapkan bahwa target bauran energi baru-terbarukan pada tahun 2025
diharapkan mencapai 23%. Untuk proyeksi tahun 2050, Rencana Umum Energi
Nasional (RUEN) mencanangkan energi baru dan terbarukan memiliki bauran hingga
31%. Angka ini keterlaluan sekali kecilnya. Harusnya pada tahun 2050 sudah
mencapai 100%. Sebabnya, untuk mencegah bencana iklim, emisi gas rumah kaca
mesti dikurangi minimal 80%, yang artinya seluruh proses energi harus lepas
dari emisi karbon.
Sayangnya, RUEN dan Outlook
BPPT
itu mengungkapkan bahwa “NKRI Harga Mati” tidak pernah punya visi peduli iklim.
Sebabnya lagi-lagi kembali ke paradigma kapitalisme, cuma peduli aspek
ekonomisnya saja tanpa peduli aspek lingkungan. Bauran 31% energi terbarukan
dalam RUEN hanya sebatas pemanis mulut saja, tapi sangat jauh dari cukup untuk
melawan pemanasan global.
Kelima, tidak ada
visi politik global. “NKRI Harga Mati” sejak awal kelahirannya tidak pernah
memiliki visi politik global. Jangankan global, terhadap negaranya sendiri saja
masih samar-samar visi seperti apa yang ingin dijalankan. Realitanya, Indonesia
hanya negara subordinat dari negara adidaya, dalam hal ini Amerika Serikat.
Boro-boro menekan negara lain untuk dengan jelas memerangi pemanasan global,
memiliki kedaulatan dalam negeri saja tidak. Yang ada malah “NKRI Harga Mati”
yang ditekan terus-terusan oleh dunia internasional. UU No. 22 Tahun 2001
adalah contohnya.
Padahal, urusan
pemanasan global adalah urusan global juga. Tidak bisa cuma mengandalkan satu
negara-bangsa saja. Yang harus dilakukan pun bukan sebatas mengajak, tapi
menekan. Karena urusan ini sudah urgen, tidak bisa ditunda-tunda lagi.
Kelima poin ini
terkait satu sama lain. Tapi pada dasarnya semua berujung pada hal yang sama: “NKRI
Harga Mati” tidak bisa mengatasi persoalan pemanasan global.
“NKRI Harga Mati”
menganut kapitalisme, yang justru merupakan sumber pemanasan global. Neoliberalisme
yang dianut “NKRI Harga Mati” menjadikan ekonomi dan pasar sebagai driving
force tanpa
mempertimbangkan kepentingan iklim. Demokrasi meniscayakan politik
transaksional antara penguasa dan pengusaha energi fosil demi kepentingan
pemilik modal. Ketiadaan visi yang peduli iklim menjadi dampak dari poin
pertama sampai ketiga. Sementara secara global, “NKRI Harga Mati” tidak
memiliki daya tekan politik untuk memaksa negara-negara lain melawan pemanasan
global secara serius.
Melihat kondisi ini,
bagi yang perhatian dan khawatir akan kondisi iklim dunia, slogan “NKRI Harga
Mati” sama sekali tidak bisa diterima. Toh realitanya
“NKRI Harga Mati” tidak bisa menyelesaikan pemanasan global, padahal yang
namanya pemanasan global itu harus dibereskan. Kenapa juga harus “Harga Mati”
kalau nyatanya tidak bisa menyelesaikan masalah? Mau membiarkan negeri ini dan
seluruh dunia terkena bencana iklim demi kebanggan semu?
Satu-satunya sistem
yang bisa mengatasi pemanasan global adalah Khilafah. Bukan demokrasi yang
digunakan “NKRI Harga Mati”. Khilafah memiliki sederet filosofi dan aturan yang
merupakan solusi masalah. Apa pasal? Khilafah adalah negara berlandaskan akidah
Islam dan menerapkan syariah Islam. Tidak bisa dipungkiri bahwa syariat Islam
memiliki pemecahan terhadap masalah-masalah di muka bumi, termasuk urusan
pemanasan global.
Kalau benar-benar
berpikir, apa layak mempertahankan sesuatu yang tidak bisa menyelesaikan sebuah
masalah sementara ada alternatif lain yang bisa menyelesaikan masalah? Apalagi
kalau mempertahankan itu hanya semata-mata karena ego delusional, bukan karena
pertimbangan rasional? Lebih-lebih, jika masalah itu sangat mendesak untuk
diselesaikan, seperti pemanasan global.
Saya peduli dengan
masalah pemanasan global, karena itu saya menyerukan penegakkan Khilafah,
sebagai satu-satunya sistem yang secara filosofis ramah iklim. Saya tidak
terima dengan slogan “NKRI Harga Mati”, karena itu tidak bisa menyelesaikan
pemanasan global. Malah sebaliknya, menambah buruk saja.
Tentu saja, alasan
utama penegakkan Khilafah adalah karena syara’ memerintahkannya, bukan
semata-mata karena ada masalah tertentu. Tapi di mana ada hukum syara’, di situ
ada maslahat. Dan salah satu maslahat yang bisa diraih dari menuruti perintah
syara’ adalah menyelamatkan bumi dari potensi bencana iklim akibat pemanasan
global. Tidak ada waktu dan alasan logis barang secuilpun untuk mengedepankan
ego delusional, waktu kita semakin sedikit.